Judul asli: The Bookstore Traveler
Penulis: Ngadiyo
Editor: M. Fauzi Sukri
ISBN: 9786239106409
Halaman: 356
Cetakan: Pertama-September 2019
Penerbit: Diomedia
Harga: Rp 145.000
Rating: 3/5
Satu lagi penerbit tutup!
Satu lagi toko buku tutup!
Habis semua!
Kalimat yang tanpa sengaja selalu saya ucapkan ketika mendapat info ada toko buku, atau ada penerbit yang berhenti beroperasi. Beberapa penerbit bahkan sudah menghentikan semua kegiatannya sebelum masa pandemi.
Sedih rasanya kehilangan "rumah kedua". Mereka tak hanya sekedar penerbit dan toko buku, bagi saya mereka yang ada di dalamnya adalah keluarga kedua. Berasa di sana, saya merasa nyaman, seakan pulang ke rumah.
Tak selalu kunjungan ke penerbit untuk buntelan, kadang malah mengantarkan panganan kecil. Jika ke toko buku, bisa saja bukan untuk mengharapkan voucher atau membeli sesuatu, bisa saja memberikan souvenir sehabis mengisi acara di kantor.
Jadi, walau bukan penerbitan atau toko buku milik saya, sedih rasanya jika mendapatkan kabar ada yang tutup. Makin melow ketika membayangkan bagaimana si A yang baru saja punya anak, bagaimana si Z yang sedang mempersiapkan pernikahan.
Ketika menemukan sebuah buku yang berisikan tentang bagaimana para pedagang buku bisa bertahan hingga saat ini, langsung semangat membaca. Siapa tahu ada ide yang bisa dibagikan pada rekan-rekan. Apalagi mendengar ada yang malah mau membuka toko buku saat situasi begini. Nekat, tapi perlu didukung!
Dalam lebih dari 300 halaman, sang penulis akan mengisahkan bagaimana kesan yang diperoleh dari mendatangi (baik daring maupun luring) berbagai toko buku yang ada. Total ada 18 toko buku yang berada di Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, serta Ambon.
Pembaca memang akan mendapatkan berbagai tips serta trik bagaimana toko-toko tersebut berusaha bertahan saat ini. Kebijakan apa yang harus diambil pengelola, bagaimana sejarah berdiri, kejayaan, hingga situasi saat ini.
Raja Murah sebagai contoh, acap kali menjadi sasaran pengunjung tiap kali ada bazar atau pameran buku. Menganut prinsip menjual buku harus murah, tidak menjual buku bajakan, selalu menambah gudang, serta melakukan pameran buku di mana-mana, menjadikan Raja Murah dikenal dan terpercaya.
Jatuh-bangun mendirikan Raja Murah membuat Ahmad Fanani-si pemilik pada akhir tahun 1990-an menjadi nomor satu di Shopping Center Yogyakarta. Bisa dianggap sebagai Rektor di sana. Seru! Ada Rektor Dunia Buku!
Pandemi covid-19 sepertinya tak begitu berdampak pada Dema Buku. Menurut beberapa pembeli, tampilan Instagramnya selalu menarik. Mereka yang disebut sebagai kaum milenial merupakan pelanggan tersebut.
Bagaimana Steven Sitongan, yang lebih dikenal dengan nama Ksatria Buku jatuh bangun membuat toko buku di Ambon sangat layak diajungi jempol! Dulu, ketika sama-sama masih aktif di komunitas bloger buku, ia paling aktif mengusulkan ide-ide.
Saya masih ingat, salah satu ajakannya untuk ikut menulis keroyokan, membahas sebuah topik. Saya sangat yakin, kelak toko bukunya serta podcast akan semakin maju dan membawa makna sendiri bagi dunia literasi.
Buku yang menarik secara ide. Sayangnya, semuanya disajikan dalam bentuk skrip wawancara. Penulis mengajukan pertanyaan, lalu narasumber menjawab. Apa yang ditanyakan, dan jawabannya ditulis langsung.
Mungkin karena saya masih terkenang dengan cara Muthia Esfand bercerita dalam Dari Toko Buku ke Toko Buku, komentar saya ada di sini, saya membayangkan akan menemukan sebuah buku dengan cara penyajian yang serupa.
Padahal, jika penulis mengolahnya menjadi sebuah tulisan bukan skrip wawancara mentah, tentunya akan banyak hal yang bisa dibahas. Misalnya ketika membahas tentang prinsip BISA yang dianut oleh Pak Thomas, memilik Sekawan-toko buku di Solo.
Saya malah lebih menikmati tulisan yang ada di halaman 331. Karena semua hasil wawancara disajikan dalam sebuah narasi yang menarik. Sepertinya malah pingin usul, supaya bagian ini yang dikembangkan, lalu bagian wawancara dipersingkat dan dijadikan lampiran saja.
Pembaca juga bisa menemukan aneka foto narasumber dan lokasi yang dimaksud dalam buku ini. Sangat terinci. Setiap membahas satu penjual, penulis juga akan menyisipkan foto-foto guna mendukung apa yang diuraikan.
Meski sempat mengucapkan kata narsis hi hi hi, karena sebagian besar foto yang ada mengusung wajah sang penulis. Tapi ini juga bisa dijadikan sebagai ajang pembuktian bahwa memang penulis mendatangi tempat yang disebutkan, bukan hasil comot data sana-sini saja.
Jadi kangen Gramedia Slamet Riyadi dan Gladek. Andai tak pandemi, rasanya pingin ke sana lalu melakukan tapak nilas tempat yang disebutkan dalam buku ini. Seru pastinya! Siapa tahu kalau berbelanja sambil mengajak Ngadiyo bisa dapat diskon he he he.
Sempat heran juga menemukan ada foto dengan keterangan Titin. Siapakah Titin? Pertanyaan tersebut muncul begitu menemukan foto seseorang bernama Titin di halaman 18. Karena uraian yang ada dalam halaman itu dan sebelumnya sama sekali tidak menyebutkan informasi terkait dengan sosok yang bertama Titin itu.
Baru di halaman 30 saya mendapatkan informasi terkait siapakah Titin itu. Sekedar saran, sebaiknya ilustrasi diletakkan tak jauh dari uraiannya. Demikian juga dengan beberapa foto yang lain.
Melalui buku ini, diharapkan mereka yang ingin menekuti usaha jual-beli buku bisa mendapatkan referensi bacaan dari sumber yang terpercaya. Mereka yang menjadi narasumber buku ini sudah terbukti ketangguhannya dalam urusan jual-beli buku.
Dengan banyaknya penerbit yang mengajak menjadi reseller, atau aneka ajang obralan yang menawarkan buku murah sehingga untuk besar jika laku dijual lagi, sepertinya perlu dipertimbangkan dengan seksama apakah Anda memiliki kemampuan untuk itu. Atau hanya sekedar kesenangan sesaat karena berhasil menjual beberapa eksemplar buku.
Pada akhir kita, sebagai pembaca kita akan mendapat tips belanja buku dari penulis. Tips ini tentunya dibuat berdasarkan pengalamannya selama menyusun buku ini.
Pesan untuk jangan membeli buku bajakan, sangat perlu kita ikuti. Berapa banyak nasib pekerja dunia buku yang bergantung pada buku orisinil yang kita beli.
Jika memang tak ada dana untuk membeli buku, tunggulah saat ada acara diskon. Atau beli prapesan. Jika tidak bisa sama sekali membeli, manfaatkan perpustakaan. Lebih baik dari pada membeli buku bajakan.
Bagi para penggiat literasi dan penggila buku, buku ini bisa menjadi semacam nostalgia akan keberadaan beberapa toko buku. Juga agar lebih memahami kenapa semakin sulitnya menemukan bacaan.
Sang penulis, Ngadiyo, adalah CEO dari Diomedia. Penggiat penulisan memoar ini bisa dihubungi di IG ngadiyo_official siapa tahu ada yang tertarik membeli atau ikut menulis antologi.
Merapal doa, semoga kondisi perbukuan kembali normal dalam waktu dekat. Aamiin
Entah saya yang cemplung ke base buku di twitter sampe ngerasa dunia perbukuan menggeliat lumayan cerah. Soalnya masih wara-wiri yang jual dan yang mencari beberapa judul buku.
BalasHapusMalah kadang saya sendiri khilaf beli banyak buku kalo lagi ada diskon. Dan ini yang mesti dilihat penerbit agar ada kedekatan dengan komunitas pembaca buku supaya bukunya jadi pembicaraan dan banyak yang cari buat dibeli, hehe.
Belakangan ini banyak yang menghabiskan stok buku. Berita gembira buat penggila buku
BalasHapus