Judul asli: The Poppy War
Penulis:
R.F Kuang
Alih
bahasa: Meggy Soedjatmiko
Editor:
Anastasia Mustika Widjaja
ISBN:
9786020634951
Halaman:
568
Cetakan:
Pertama-2019
Penerbit:
Pt Gramedia Pustaka Utama
Harga:
Rp 135.000
Rating:4.5/5
Kita tidak bisa dibilang mati, melainkan kembali ke kehampaan. Kita terurai. Kita tak lagi punya ego. Kita berubah dari hanya menjadi satu hal, menjadi segalanya. Setidaknya sebagian besar dari kita
~
The Poppy War, Halaman 236
Kisah
yang sunguh mengagumkan!
Buku
setebal 568 halaman ini akan mengajak pembaca untuk mengikuti
langkah Fang Runin-Rin menemukan jati diri yang sesungguhnya. Tepatnya
dalam 568 halaman 3 bagian, 26 bab, dimana bab pertama hingga kesembilan berada
di bagian pertama. Selanjutnya bab-10 hingga bab-20 berada pada bagian dua.
Bagian terakhir, berisi bab-21 hingga bab-26.
Pada bagian pertama, dikisahkan mengenai perjuangan Rin untuk menaikkan taraf hidupnya. Sejak kecil Rin diangkat anak oleh keluarga Fang guna memenuhi titah Maharani agar keluarganya yang memiliki anak kurang dari tiga orang untuk mengadopsi anak yatim-piatu korban Perang Opium Pertama. Dan nasib membawa Rin bergabung dengan keluarga Fang.
Sehari-hari ia bekerja menjaga toko sehingga paham apa dan bagaimana sebenarnya usaha yang dikelola oleh Keluarga Fang. Banyak hal yang ia peroleh selama berada bersama keluarga Fang. Dari Bibi Fang, Rin belajar cara bernegosiasi yang handal. Suatu keahlian yang sangat berguna kelak.
Seiring waktu, mulai terjadi benturan
kepentingan diantara mereka. Tujuan utama hidup Rin adalah Akademi
militer yang ada di Sinegard. Sementara Keluarga Fang ingin segera
mencarikan jodoh Rin.
Sang
bibi, ingin menikahkan Rin dan membuatnya kaya sehingga keluarga mereka juga
bisa ikut menikmati sedikit saja kekayaan yang dimiliki oleh suami Rin. Ia
bahkan sudah memberikan petunjuk pada Rin bagaimana cara menaklukan suami.
"Beri semakin lama semakin banyak hingga dia sepenuhnya tergantung, dan juga pada dirimu. Biarkan candu itu menghancurkan tubuh dan pikirannya. Memang, pada akhirnya kau kurang-lebih bersuamikan mayat hidup, tapi kau bakal memegang kekayaannya, estatnya, dan kekuasaannya," Begitu yang tertera di halaman 25. Jika Rin, kaya, Keluarga Fang berharap juga bisa ikut menikmati kekayaan sang suami.
Rin lulus dengan nilai tertinggi! Keluarga Fang harus mengubur keinginannya. Di akademi, Rin banyak belajar berbagai hal.Termasuk untuk tutup mulut dan mengikuti saja apa yang diajarkan Jiang, tutornya. Prestasinya lumayan menonjol.
Ada 7 master dengan keahlian yang mampuni. Para murid harus menunjukkan bakatnya agar bisa mendapat lamaran menjadi murid magang. Sekian lama, baru Rin seorang yang mendapat lamaran untuk menjadi murid magang di Adat dan Pengetahuan di bawah Master Juang Ziya.
Bagian ini banyak mengutip tentang ajaran Sunzi. Saya jadi ikutan lapar ketika membaca perihal makanan Sup Tujuh Hartu Karun dan Kepala Singa yang dinikmati Rin dan Kitay di halaman 181. Sup Tujuh Harta Karun merupakan bubur manis lezat diracik dari buah jujube, kastanye salur madu, biji teratai, dan sejenis bahan lainnya. Sementara Kepala Singa adalah masakan sejenis bakso dicampur dengan tepung dan direbus di tengah irisan-irisan tipis tahu putih.
Bagian kedua mengisahkan tentang peperangan yang terjadi antara
kaum Nikan yang berperang demi Maharani dengan pihak Federasi. Ren bukan
murid magang lagi, ia prajurit sekarang. Ia berada dalam divisi khusus
beranggotakan orang-orang yang dianggap aneh karena memiliki kekuatan seperti
dirinya, kemampuan memanggil dewa-Pasukan Cike.
Rin mulai mencoba mengendalikan dan mempergunakan kemampuannya untuk memanggil
dewa. Ada yang menyebut kemampuannya sebagai syaman. Istilah tak penting
bagi Rin.
Setiap kali ia akan memanggil dewa, Rin
butuh racikan tanaman poppy. Ia juga selalu merasa melihat ada bayangan wanita
yang menahan kekuatannya. Menurutnya jika ia memanggil para dewa sama
saja dengan ia membawa neraka turun ke bumi. Hal ini membuatnya gamang.
Chaghan, salah satu sosok yang cukup paham bagaimana dirinya juga memberikan saran agar ia tahu bagaimana harus bersikap. "Tidak ada yang bisa meramalkan masa depan," kata Chaghan. "Masa depan selalu bergeser, selalu bergabung pada pilihan-pilihan individu. Tapi Talwu bisa memberitahumu kekuatan-kekuatan yang terlihat. Bentuk-bentuk yang mendasari semuanya. Warna dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Masa depan merupakan pola yang bergantung pada pergerakan-pergerakan di masa kini, tapi Talwu manpu membaca arusnya untukmu, sama seperti pelaut yang berpengalaman mampu membaca samudra. Kau hanya perlu mengajukan pertanyaan."
Ternyata,
tanggung jawab Rin tidak hanya bagaimana cara memanggil dewa sehingga bisa
memenangkan peperangan. Ada hal lebih besar dibalik itu semua. Ren akhirnya tahu ada penghianat yang menyerahkan diri dan para
sahabatnya.
Bagian ketiga berkisah tentang bagaimana Rin berusaha
untuk mencari siapa sesungguhnya si pembuat kerusakan sehingga muncul perang. Termasuk bagaimana ia harus menerima kenyataan bahwa sekarang ialah komandan
Cile, serta hidup dengan fakta seseorang merelakan nyawa agar ia selamat.
Meski menawan, buku ini sebaiknya dibaca untuk usia 18+. Banyak adegan kekerasan dalam kisah ini. Simak saja ucapan salah seorang tokoh di halaman 435,"Akan kubakar kau sedikit demi sedikit.... Aku akan mulai dari telapak kakimu. Akan kuberi kau rasa sakit satu per saru, supaya kau tak akan pernah hilang kesadaran. Luka-lukamu akan langsung terbakar begitu berwujud, jadi kau tidak akan mati karena kehabisan darah. Ketika kedua kakimu hangus, sepenuhnya hitam gosong, aku akan pindah ke jari-jari tanganmu. Akan kubuat jarimu rontok satu per satu. Akan kujajarkan potongan-potongan tubuh yang hangus itu pada tali untuk digantungkan ke lehermu. Saat aku selesai dengan anggota tubuhmu, aku akan pindah ke testikelmu. Akan kubakar keduanya dengan begitu lambat, sampai kau bakal gila akibat penderitaan. Saat itulah kau akan bernyanyi."
Suasana
pertempuran memang digambarkan dengan sangat mencekam. Penulis mendeskripsikan
dengan baik sehingga saya selaku pembaca ikut merinding merasakan
kengerian. Misalnya ketika Rin dan rombongan melihat ada berbagai
barang tergeletak di jalan, dengan kalimat, "Saat keputusasaan mengalahkan
kelekatan mereka pada harta benda, orang-orang Nikan membuang harta milik
mereka saru persatu." Duh makin terasa seramnya.
Termasuk bagian bagaimana Rin dan beberapa orang yang menerapkan
symanisme perlu mempergunakan opium atau campuran lainnya agar bisa menjalankan
tugasnya berkomunikasi dengan dewa. Jangan sampai ditiru oleh remaja kita.
Menganggap teler itu keren.
Tak semua bagian kisah menegangkan. Sepenggal kisah di halaman 253 membuat saya tertawa. Membayangkan wajah Rin dan sahabatnya yang kesal karena kelakuan seorang magistrat. Saat dia dianggap penting sehingga harus diungsikan, bukannya menenangkan anak buah, ia justru sibuk memerintahkan poci-poci teh dan vas kesayangannya diangkut dengan aman.
Saya membayangkan, jika ini jadi bagian
adegan sebuah film, bagian yang mengisahkan bagaimana Kitay menghancurkan
barang-barang sang magistrat pasti seru. Tentunya ia membayangkan sedang
menghancurkan pikiran si magistrat yang ajaib.
Bagi mereka yang menyukai kisah sejarah, buku ini layak dikoleksi karena mengambil latar Perang Opium. Dalam buku History of China dari Ivan Taniputera, disebutkan bahwa Perang Opium (dalam buku disebut Perang Candu) terjadi pada tahun 1840-1842, sedangkan tahap kedua pada tahun 1856 dan 1860 (mungkin maksudnya 1856 hingga 1860). Sekedar mengingatkan tentang perang pertama, serta informasi perihal perang kedua, langsung klik saja ya.
Semoga dua buku selanjutnya juga bisa terbit di tanah air. Kisah yang menawan ini sangat sayang jika tidak diikuti hingga tamat.
Sumber gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar