Judul asli: Roll of the Dice
Penulis: Anand Neelakantan
Penerjemah: Rini Nurul Badariah
Penyunting: Shalahuddin Gh
ISBN: 9786026799463
Halaman: 502
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit; Javanica
Harga Rp120.000
Rating:
Gimana ya perasaan si Duryudana waktu batal jadi raja, padahal ia putra mahkota?
Sebuah pertanyaan muncul dalam benak saya saat selesai menamatkan komik Mahabharata dari R.A Kosasih. Saya yang masih seorang anak SD, memiliki rasa simpati pada tokoh Duryudana. Dijanjikan sesuatu lalu diberikan pada orang lain! Sebagai anak kecil, saya merasa sungguh sikap yang tidak adil. Pantas saja Duryudana dan saudaranya jadi nakal, kurang lebih begitu yang ada dalam benak saya.
Waktu berlalu, dan saya pastinya bukan seorang anak SD lagi. Namun rasa penasaran tak pupus. Rasa penasaran tersebut terjawab dengan munculnya buku ini, Mahakurawa. Bisa disebut buku ini menjawab rasa penasaran saya yang terpendam sekian waktu.
Mahakurawa merupakan kisah yang sangat bertolak belakang dengan kisah Mahabharata yang selama ini beredar di tanah air. Dikisahkan dari sudut pandang mereka yang kalah perang Bharatayuda, dari sisi sosok yang selama ini dianggap jahat.
Bagi mereka yang sudah pernah membaca kisah Mahabharata versi tanah air atau menonton di televisi, saran penting sebelum menikmati buku ini adalah lupakan semua hal yang pernah diketahui selama ini.
Abaikan kisah tentang Bambang Ekalaya yang ditolak menjadi murid Dorna kemudian belajar sendiri, tentang Srikandi yang merupakan titisan Dewi Amba, juga tentang Duryudana yang selalu kejam pada orang lain.
Terdapat 27 bagian dalam buku ini ditambah dengan Pengantar, Purwaka, serta Catatan Akhir. Dari 27 bagian atau bab, kisah ini dimulai sejak Pandawa dan Kurawa masih kecil dan diakhiri dengan kisah bermain dadu. Mulai dari kisah Pangeran Darah, Dorna, Srikandi, Kaum Naga, Ekalaya, Sayembara Dupadi, Rajasuya, hingga Putaran Dadu.
Bocoran sedikit, misalnya tentang asal-usul sosok yang kelak membunuh Bisma. Dewi Ambi ternyata sudah hamil dari sang pacar, dan anak tersebut yang kelak membunuh Bisma. Anak yang terjadi wandu itu diangkat anak oleh Raja Drupala dari Pancala dan diberi nama Srikandi. Ia hidup dengan tujuan membalas sakit hati ibunya. Agak miripkan dengan versi yang dikenal di tanah air?
Lalu Sumbadra yang dalam versi yang beredar di Indonesia, serta yang muncul dalam bentuk tayangan televisi, merupakan istri Arjuna. Namun dalam buku ini, sebelumnya ia adalah kekasih Suyudana.
Dalam buku ini, Duryudana disebut dengan nama Suyudana. Perubahan awalan nama dari "Su" yang bermakna baik menjadi "Dur" yang bermakna buruk, diberikan oleh mereka yang tidak suka akan sikapnya yang sering melanggar aturan kasta demi menolong mereka yang membutuhkan.
Bagian yang paling membuat saya melotot adalah ketika menemukan sosok Abimanyu sebagai keponakan yang sangat dekat dengan Suyudana. Mungkin karena ibunya, Sumbadra dahulu adalah kekasih Suyudana. Dan.., ah sudah ya silakan baca dan terkejut sendiri he he he.
Saya merasa perlu memberikan semua jempol bagi penulis. Ia mampu membuat pembaca lepas dari sosok Pandawa dan Kurawa yang selama ini mereka kenal. Membaca buku ini membuat saya merasa membenci sosok Pandawa.
Mereka sering melakukan banyak pembenaran atas tindakan keji mereka, dengan mengatasnamakan Dharma! Misalnya dalam kisah ini, menjebak sebuah keluarga kasta rendah dengan iming-iming makanan. Makanan tersebut ternyata sudah diberi obat hingga mereka tertidur, lalu Pandawa mengunci pintu dan membakar istana tempat mereka berada. Sudah dharma mereka mengorbankan diri bagi Pandala dan Kunti. Demikian juga penjaga yang bertugas menjaga mereka. Adalah dharma mereka mengorban nyawa bagi junjungannya.
Penulis juga memperkenalkan kita mengenai kehidupan masyarakat yang menganut kasta. Agak rumit memang namun begitulah adanya. Para tokoh kita berada dalam tatanan masyarakat yang mengharuskan mereka mengikuti aturan yang berlaku. Beberapa memang sepertinya tak masuk akal, tapi begitulah adanya.
Ketika membaca uraian di halaman 497, saya makin perlu memberikan bintang banyak bagi penulis. Disebutkan bahwa kisah Mahabharata mengandung banyak simbolis. Kurawa yang sering dianggap sebagai sisi jahat digambarkan dengan jumlah 100 orang sebenarnya adalah simbolis dari makna banyak. Sementara Pandawa, mewakili 5 pancaindra. Masih banyak hal lain yang sebaiknya dibaca sendiri. Sungguh menyentuh.
Dan, jawaban rasa penasaran saya terjawab pada halaman 42, "Mana mungkin Yudhistira menjadi raja Hastinapura berikutnya? Akulah putra sulung raja yang bertakhta, Destarata, pikirannya. Paman Pandu memerintah atas nama ayahku karena kebutaannya. Bukan berarti anak Pandu menjadi pemimpin Hastinapura berikutnya bila saatnya tiba."
Siap-siap membaca buku selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar