Penulis: P.W Sinear & August Cole
Penerjemah: Reinitha amalias Lasmana & Maria Lubis
Penyunting: Dyah Agustine
ISBN: 9786024410766
Halaman: 544
Penerjemah: Reinitha amalias Lasmana & Maria Lubis
Penyunting: Dyah Agustine
ISBN: 9786024410766
Halaman: 544
Cetakan:
Pertama 2018
Penerbit:
PT Mizan Pustaka
Harga: Rp
145.000
Rating: 3.5/5
Kisah ini terinspirasi dari trend dan
teknologi dunia nyata.
Tetapi, pada akhirnya, ini hanyalah fiksi,
bukan prediksi.
Kalimat pada halaman awal tersebut langsung membuat saya berhenyak. Sebuah peringatan
bahwa ini adalah fiksi sudah diberikan,
jika masih ada yang menganggap ini adalah prediksi, sungguh aneh. Entah apa yang membuat mereka begitu percaya
ini adalah prediksi.
Demikian juga denga kalimat yang tertera di sampul, "Sebuah novel." Bisa dianggap ini merupakan penegasan dari pihak penerbit bahwa ini adalah sebuah novel, sebuah karya fiksi semata.
Awal kemunculan buku ini bisa dikatakan cukup unik. Ketika salah satu calon presiden periode tahun 20XX menyebutnya, mulailah banyak yang tertarik untuk membaca karena disebutkan menyinggung tentang negara kita tercinta. Tak ketinggalan saya he he he
Sebuah
versi digital mendarat di telepon genggam saya dalam waktu singkat. Sayangnya
berbahasa Inggris (ya jelasnya^_^). Dengan kemampuan bahasa yang standar, saya
mencoba menuntaskan. Tak ada yang spesial, walau memang menyebutkan tentang
negara kita, dari sisi saya lho.
Saat kali
pertama melihat versi terjemahan, langsung masuk dalam belanjaan. Kembali,
membaca cepat, membuat komentar butuh waktu. Plus saya pribadi merasa saat itu
belum tepat mengeluarkan komentar mengenai buku ini, takut menimbulkan pro dan
kontra yang tidak jelas ujungnya. Pahamlah maksud saya ^_^
Secara
garis besar, kisah ini berkisar mengenai Perang Dunia III antara dua kekuatan
utama, yakni Amerika Serikat serta koalisi Cina-Rusia. Terjadi suatu hal
sehingga Cina yang memiliki cadangan gas bumi yang melimpah dikisahkan berubah menjadi negara yang menguasai energi dunia.
Ambisi
untuk menguasai dunia muncul, terutama untuk menguasai kawasan Pasifik Barat.
Caranya dengan menaklukkan Amerika Serikat, merentas sistem keamanan mereka.
Segala hal yang terkait dengan teknologi mendadak menjadi kacau, bahkan sistem
pertahanan yang mengandalkan satelit sukses dilumpuhkan.
Walau begitu, bukan berarti Amerika Serikat diam saja, mereka
melawan dengan mengandalkan kapal perang kuno. Kapal-kapal tersebut sudah
berada pada kondisi dipakai enggan, disimpan sayang. Banyak yang disingkirkan
sebelum waktunya. Kapal-kapal tersebut dikenal dengan istilah Ghost Fleet-Kapal Hantu.
Sebenarnya itulah kekuatan Ghost
Fleet. Karena sistem kapal sederhana, hacker tidak bisa melumpuhkan sistem
melalui jaringan internet. Para perwira
senior diminta mengajari para junior bagaimana mengoperasikan kapal
tersebut. Sebuah kerja sama yang kompak.
Bagian ini memberikan kita pemahaman bahwa dalam kondisi
apapun kita tidak boleh mudah menyerah. Kadang, sesuatu yang sepertinya
ketinggalan zaman, atau sudah jarang
kita gunakan, justru bisa menjadi solusi
bagi masalah yang sedang dihadapi.
Selain
kisah yang penuh aksi, pembaca juga bisa menemukan kisah dengan mengusung unsur
kemanusian. Misalnya kisah bagaimana
salah satu veteran yang dipanggil bertugas kembali, Opsir Kepala Mike Simmons
harus menjadi anak buah anaknya sendiri, Kapten Jamie Simmons, Kapten kapal USS
Zumwalt. Penuh dengan konflik yang menarik.
Sang anak yang merasa terabaikan sejak kecil, harus menahan ego untuk bertindak wajar selaku atasan sang ayah. Sementara sang ayah, juga harus menahan diri dan menghormati setiap keputusan sang anak selaku akpten kapal. Bukan hal mudah bagi keduanya.
Sang anak yang merasa terabaikan sejak kecil, harus menahan ego untuk bertindak wajar selaku atasan sang ayah. Sementara sang ayah, juga harus menahan diri dan menghormati setiap keputusan sang anak selaku akpten kapal. Bukan hal mudah bagi keduanya.
Membaca yang tertera
pada halaman 7-10, membuat saya teringat
Kisah Petualangan Tintin: Penjelajahan di Bulan. Sungguh mengerikan, ketika
orang yang kita anggap sebagai kawan justru berkhianat dengan membiarkan kita
menjemput maut di angkasa, 400 kilometer di atas permukaan bumi.
Beberapa kata terkait negara kita tercinta memang bisa
ditemukan dalam buku ini. Ada kata Indonesia dan Sulawesi Utara di halaman 42, lalu perairan
bekas Republik Indonesia di halaman 26, 34.
Pada halaman 26 tertera, “Selat sepanjang kira-kira 963
kilometer yang terbentang di antara bekas Republik Indonesia dan Malaysia
memiliki jarak tersempit kurang dari 3 kilometer, nyaris tidak memisahkan
negara otoriter Malaysia dengan anarki yang menguasai Indonesia setelah
berlangsungnya perang Timor kedua.”
Salah satu produk yang mendunia, Samsung, juga diangkat dalam
buku ini. Pada halaman 21 tertera, “Kacamata Samsung berbingkai emas yang
digunakan Torres jelas bukan produk keluaran Angkatan Laut.” Ada juga Dunkin’
Donuts di halaman 59. Di halaman 150 disebutkan tentang Pulau Mare, mungkinkah
yang dimasud adalah Pulau Mare di kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara.
Secara keseluruhan ada 4 bagian dan 1 epilog dalam buku ini.
Untuk bagian 1-4 pada awal bagian pembaca bisa menemukan ungkapan dari Sun-Tzu,
The Art of War. Sementara pada epilog tertera
kalimat bijak dari William Walker.
Buku yang menarik. Membacanya perlu dinikmati halaman per
halaman hingga bisa mencicipi sensasi keseruan kisah yang dijanjikan oleh
penulis. Cocok dibaca oleh mereka yang menyukai dunia intelegen.
Sumber: Goodreads Indonesia
Mengetahui buku ini sejak lama namun belum ada keinginan punya dan untuk membaca. Sebabnya karena tema novel ini tentang perang. Dugaan saya bakal mendapatkan cerita yang kaku. Hanya saja setelah tahu konflik soal anak yang jadi atasan ayahnya, kayaknya saya harus membaca buku ini juga.
BalasHapusSepertinya menarik juga ya...
BalasHapus