Editor: Ferrial Pondrafi
Desain sampul dan isi: Dian
Nurwendah
Ilustrasi cover: Enrica
Rinintya
ISBN: 9786029251388
Halaman: 148
Cetakan: Pertama-Juni 2017
Penerbit: Metamind
Harga: Rp 47.000
Rating: 3.5/5
Sering kali saya katakan
bahwa sebuah buku kadang berjodoh dengan pembacanya dengan cara yang
unik. Salah satunya buku ini. Semula saya hanya ingin mencari sebuah buku tipis
guna mengatasi kejenuhan membaca. Mungkin berkesan aneh tapi begitulah
adanya. Hiburan saya adalah membaca, namun ada kalanya rasa jenuh menghampiri,
terutama jika buku yang bisa dibaca mengusung tema sejenis.
Daya tarik buku ini selain
halamannya yang sedikit, ada pada kalimat "Jenang bukan dodol."
Sebagai seseorang yang kurang paham (baiklah, tidak paham sama sekali) perihal masak-memasak, merupakan hal baru mengetahui keduanya merupakan jenis panganan yang berbeda. Kalimat tersebut membuat saya merasa
mendapat sebuah pengetahuan baru, sebuah manfaat dari membaca.
Membaca blurb, saya menemukan kata "Fiksi Kuliner" Sebuah jenis kisah yang agak
jarang ada. Makin membuat rasa penasaran. Mari kita coba "nikmati" racikan kata-kata dalam buku ini, apakah seindah tampilannya.
Begitu membuka halaman pertama, pembaca sudah disuguhi dengan gambar aneka alat memasak dengan latar belakang halaman serupa dengan kover. Sepertinya ini ada di setiap buku. Ilustrasi ini seakan menguatkan bahwa buku yang sedang dibaca berkisah seputar kuliner.
Makin terasa aura kuliner ketika memandang bagian yang memuat nomor halaman. Pada satu halaman diberi hiasan cantik berupa sendok, sementara pada halaman lainnya diberi ilustrasi garpu. Keduanya diletakkan secara bergantian.
Begitu membuka halaman pertama, pembaca sudah disuguhi dengan gambar aneka alat memasak dengan latar belakang halaman serupa dengan kover. Sepertinya ini ada di setiap buku. Ilustrasi ini seakan menguatkan bahwa buku yang sedang dibaca berkisah seputar kuliner.
Makin terasa aura kuliner ketika memandang bagian yang memuat nomor halaman. Pada satu halaman diberi hiasan cantik berupa sendok, sementara pada halaman lainnya diberi ilustrasi garpu. Keduanya diletakkan secara bergantian.
Secara garis besar,
ceritanya bisa dikatakan biasa saja, ala kisah FTV (maksudnya para tokoh dibuat
jatuh cinta dalam waktu dekat, sedikit konflik, diakhiri dengan bahagia). Tapi
yang menarik adalah bagaimana penulis menjalinnya menjadi sebuah untaian kalimat
yang enak dibaca. Plus membuat pembaca mendapat manfaat dari membaca kisah ini.
Seorang chef muda bernama
Aidan mendapat pukulan keras dari para kritikus makanan karena gagal menyajikan
jajanan tradisional saat pembukaan restorannya. Disaat malu dan putus
asa, Aidan menemukan cara membuat jajan tradisional di pasar Yogyakarta.
Semula ia hanya tertarik melihat aneka jenang yang ada di lapak Ibuk dan
Sedayu.
Bahan-bahan Nagasari Versi Buku Ini |
Ibuk bahkan menutup lapaknya hari itu khusus untuk bisa memberikan pelajaran memasak bagi Aidan. Padahal sekian lama berjualan, ibuk jarang tidak berjualan. Mau tak mau saya jadi merasa begitu istimewanya sosok Aidan bagi Ibuk. Walau memang masyarakat Yogyakarta dikenal suka menolong.
Selama proses belajar,
Aidan menjadi dekat dengan Sedayu. Dalam waku satu minggu benih cinta mulai
tumbuh diantara keduanya. Cinta memang begitu bukan? Datang dan pergi tanpa ada
yang mengundang dan mampu menghindari. Urusan belajar memasak makin membuat Aidan
bersemangat.
Ditengah kisah, konflik
mulai muncul. Aidan mendadak meninggalkan Yogyakarta, meninggalkan Sedayu dan
Ibuk begitu mendapat telepon dari seorang gadis bernama Alisha. Dalam
pengamatan Sedayu, sepertinya tak pernah Aidan menolak telepon dari Alisha,
kapan saja ia menelepon Aidan pasti akan menyambut dengan gembira. Sedayu
diam-diam penasaran dengan sosok Alisha. Percik-percik cemburu mulai muncul.
Konflik utama muncul pada
bagian akhir kisah. Aidan menemukan orang yang berada dibalik kekacauan
pembukaan restorannya. Ternyata musuh utama bisa saja orang yang berada paling
dekat dan paling kita percayai. Aidan mengajukan tantangan untuk adu memasak.
Harga dirinya dipertaruhkan!
Bagian ini mengingatkan
saya pada beberapa program memasak yang ditayangkan di televisi, misalnya Iron
Chef. Untungnya sosok yang menjadi juri digambarkan melakukan penilaian dengan
cukup adil. Tak dibuat ia begitu memuji Aidan, ada masakan yang juga
mendapat kritik. Pas rasanya.
Akhir kisah bisa ditebak,
Aidan menang, Sedayu bersedia menjadi kekasihnya, sang ayah yang sempat kecewa
berbalik mendukung dan mengakui kehebatan Aidan dalam memasak. Pihak yang
semula bertindak jahat mengakui kekalahannya. Akhir yang berbahagia bukan? Eh belum tentu, nanti kisahnya tamat dong ^_^.
Sempat juga merasa harusnya
konflik dibuat lebih sedikit panjang sehingga lebih terasa unsur roman. Tapi
kalau terlalu panjang bisa batal saya membeli buku he he he. Hanya
sepertinya porsi yang berisi resep masakan (diberi judul Menu dalam buku
ini) lumayan banyak juga, dari halaman 102-141. Sementara untuk bagian
yang berisi kisah mendapat porsi sisanya. Paham maksud saya? Harusnya porsi
yang berisi resep bisa dikurangi karena ini adalah novel bukan buku masakan.
Bagian awal yang diberi judul "Sepincuk Jenang Dari Penulis" justru lebih menarik bagi saya. Selain isinya menguraikan tentang proses kreatif penulisan buku ini, mulai dari awal ide muncul, pemilihan menu hingga ilustrator yang dipilih guna mensukseskan buku ini. Pilihan yang tepat! Penulis juga terbuka menceritakan bagaimana ia mendapatkan ide kisah.
Cara Membuat Nagasari Dalam Buku ini |
Tapi buku ini memang banyak
memberikan pengetahuan seputar kuliner bagi saya. Misanya bagaimana cara memasak
santan yang benar, bagaimana membuat bumbu untuk mie godok. Saya yang tak bisa
memasak jadi merasa tergugah untuk mencoba membuatnya. Buku ini mampu membuat
pembaca merasa memasak adalah hal yang mudah. Apa lagi aneka resep yang
ada dibuat ala infografis, makin menambah nilai menarik.
Suasana pasar dimana Sedayu
dan Aidan berbelanja, juga dapur dimana Ibuk menemani mereka belajar memasak
digambarkan dengan sangat manis. Saya seakan menjadi orang ketiga diantara
mereka. Ikut berbelanja ke pasar, dan menikmati saat menunggu pesanan.
Oh ya, saya juga mendapat
jawaban rasa penasaran saya akan kalimat "Jenang bukan dodol." Bedanya
memang sedikit, jenang lebih lembek, basah dan berminyak dibandingkan dodol.
Dodol memang lebih keras dan kesat sehingga bisa dibungkus dengan kertas roti
atau plastik.
Kalimat yang layak dikutip dalam buku ini adalah, " Fiksi kuliner adalah soal kisah di balik itu semua. Memadukan rasa dan tulisan menjadi sesuatu yang nyaman dibaca adalah tugas berat."
Lanjut borong buku selanjutnya ah....
Sumber Gambar:
Buku Djoeroe Masak:Jenang Bukan Dodol #1
Kalimat yang layak dikutip dalam buku ini adalah, " Fiksi kuliner adalah soal kisah di balik itu semua. Memadukan rasa dan tulisan menjadi sesuatu yang nyaman dibaca adalah tugas berat."
Lanjut borong buku selanjutnya ah....
Sumber Gambar:
Buku Djoeroe Masak:Jenang Bukan Dodol #1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar