ISBN: 978602743328
Halaman: 222
Cetakan: Pertama-2017
Penerbit: Kopihitam
Rating. 3.25/5
Keadilan adalah omong kosong.
Kalau kita berpikir bahwa pembalasan
adalah hak Tuhan biarlah tangan-NYA yang kuat membantu kita merampok
sebanyak-banyaknya uang dari bank.
Sebelum saya memulai membahas
menyampaikan pandangan saya tentang buku ini, izinkan terlebih dahulu saya
menjelaskan bagamana kondisi hubungan pertemanan saya dengan sang penulis. Kami
berteman cukup akrab, walau tak seakrab teman nongkrong di warung kopi.
Buktinya, saya menyarankan mengundang
penulis penggemar kopi ini untuk memberikan pelatihan khusus bagi para pengelola majalah di kantor ketika ia sedang berada di
Jakarta. Jadi jika ada yang bertanya apakah ulasan saya pedas karena saya tidak
menyukainya, maka Anda salah besar! Maklum ada yang sempat bertanya apakah saya dan penulis memiliki urusan pribadi *hadeh*
Kembali pada buku. Jika menilik judul yang tertera di
kover, ini merupakan kisah tentang tiga orang yang merampok bank. Kenapa harus
disebutkan tentang tiga perampok bank? Secara otomatis pembaca bisa langsung
tahu kisahnya mengenai sosok tiga orang yang melakukan perampokan bank. Padahal
dengan hanya menyebutkan perampok bank saja sudah bisa menggugah rasa ingin
tahu.
Semula saya agak merasa enggan membacanya. Biasalah, pembaca sok tahu ^_^. Bagi saya apa serunya kisah yang sudah bisa tertebak alurnya. Versi saya, ini kisah tentang upaya perampokan biasa, hasilnya bisa mereka sukses dan menikmati hasil rampokan kemudian terjadi perselisihan diantara mereka. Atau, upaya mereka digagalkan oleh pihak berwajib. Biasanya begitu alur kisah yang sering saya baca (sok tahu juga saya he he he).
Namun, kejutan sesungguhnya justru baru ditemui pembaca ketika membaca Daftar Isi. Termasuk saya! Penulis memulai kisah dengan memberikan latar belakang kehidupan para perampok bank. Mereka sengaja menggunakan nama palsu sebagai panggilan selama melakukan perampokan. Hal yang wajar dilakukan guna menutupi jejak mereka.
Ternyata, selain tiga orang pelaku seperti yang disebutkan pada judul, ada pihak lain yang terkait dengan perampokan tersebut! Bukan sekedar kisah perampokan biasa.
Cerdik juga! Penulis seakan menggiring
pembaca agar mengira ini merupakan kisah mengenai tiga orang yang merampok
bank, padahal urusannya tidak sesederhana itu. Ada banyak bumbu cerita yang membuat kisah ini menjadi makin renyah.Namun, kejutan sesungguhnya justru baru ditemui pembaca ketika membaca Daftar Isi. Termasuk saya! Penulis memulai kisah dengan memberikan latar belakang kehidupan para perampok bank. Mereka sengaja menggunakan nama palsu sebagai panggilan selama melakukan perampokan. Hal yang wajar dilakukan guna menutupi jejak mereka.
Ternyata, selain tiga orang pelaku seperti yang disebutkan pada judul, ada pihak lain yang terkait dengan perampokan tersebut! Bukan sekedar kisah perampokan biasa.
Para tokoh dalam kisah ini dipertemukan oleh sebuah unsur bernama sakit hati dan dendam pada keadaan. Berbagai peristiwa yang menimpa tiap individu membuat mereka menjadi dekat dan memiliki niat untuk merampok bank.
Beberapa bagian digarap ala kisah mafia. Ada bos yang menerima berbagai pekerjaan kotor dan memberikan instruksi kejam pada anak buah yang pintar-pintar bodoh ala sinetron kita. Kekar, wajah sangar, kejam tapi kurang pintar menghadapi situasi genting. Dan tentunya ada perkelahian yang seru.
Kisah kelam yang dialami sosok bernama Romi membuat saya teringat pada salah satu novel John Grisham. Seorang anak perempuan menjadi korban kekejaman anak orang kaya sementara sang ayah tak bisa berbuat banyak. Dendam akan kondisinya yang tak memiliki banyak uang guna membela sang anak, membuatnya menjadi salah satu anggota perampok.
Kisah dalam buku ini, selain memberikan hiburan juga mengajak para pembaca untuk merenung tentang makna kehidupan ini. Kadang, kebaikan yang diperbuat tanpa meminta imbalan akan membawa kebaikan kembali pada si pelaku. Demikian juga sebuah tindakan kejahatan, akan membawa sebuah kejahatan lagi.
Uraian mengenai kehidupan salah satu pelaku perampokan yang semula adalah guru yang ditindas karena membeberkan kecurangan yang terjadi di sekolah, dapat diuraikan dengan pas mengingat sang penulis juga berprofesi sebagai guru.
Adegan di perpustakaan sekolah, menggelitik rasa penasaran saya. Jangan-jangan bagian ini merupakan kisah nyata sang penulis. Mengambil lokasi perpustakaan sebagai bagian dari kisah menunjukkan kecintaan penulis pada dunia literasi.
Dibandingkan kisah yang lain, bisa dibilang kisah ini yang paling bisa membuat
Sebagai istri Yanti juga seakan bersikap masa bodoh, tak ingin tahu di mana suaminya bekerja. Untuk alasan sebagai pekerja ilegal mungkin bisa diterima, tapi apakah selama sekian lama tak ada rasa ingin tahu di mana tepatnya suaminya bekerja? Kemajuan teknologi membuat mereka tak perlu berkirim surat he he he.
Oh ya, saya juga sengaja tidak menuliskan banyak hal, karena takut nanti malah jadi membocorkan kisah tanpa sengaja. Lumayan menghibur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar