Penulis: Bung Smas
Disain sampul dan ilustrasi: Sadimin
Halaman: 248
Cetakan: Kedua-Desember 1984
Penerbit: PT Gramedia
Sekali lagi berurusan dengan Pulung. Untuk kali ini, kita akan berkenalan dengan adik Pulung, Si Polan. Juga mengetahui lebih jauh mengenai adik bapaknya, Si Man.
Polan dan Pulung sedang plesiran ke rumah Si Man, adik bapaknya yang menjadi Polisi. Karena kesepian, Polan mencari teman. Ia berkenalan secara tidak sengaja dengan 3 M, Maria Margaretha Nurfianti alias Fifi. Putri tunggal seorang pengusaha kaya.
Ternyata perkenalan itu membawa Polan berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Dengan niat untuk menemani Fifi olah raga, pagi hari ia mendatangi rumah Firi. Alih-alib erolah raga, ia malah diculik dengan harapan agar mampu membuat Fifi mau bertemu sehingga Fifi juga bisa diculik dan dimintakan tebusan.
Pulung yang merasa adiknya hilang mulai melakukan pencarian. Tidak hanya karena dimarahi bapak karena tidak bisa menjaga adik, atau karena tidak tega melihat ibu yang menangis, namun memang ia sayang Polan dengan caranya sendiri.
Sementara Pulung berusaha mencari Polan, Fifi yang merasa kesepian dan merasa bersalah juga mencoba mencari Polan dengan caranya sendiri. Ia nekat melanggar janji dengan mama untuk tidak keluar rumah. Akibatnya bisa ditebak, Fifi menghilang!
Kegemparan terus berlanjut. Apa lagi menghilangnya Fifi terkait dengan rahasia besar keluarga yang selama ini disembunyikan dengan rapi.
Tugas Pulung tidak saja hanya mencari Polan tapi juga mencari Fifi. Dengan berat hati ia harus bekerja sama dengan Si Man. Meski ia tahu Si Man dan istrinya sangat menyayangi dia dan adiknya tapi tetap saja, ia tak bisa akur dengan Si Man.
Kisah dalam buku ini agak-agak membuat saya merinding. Aksi jagoan Pulung sulit diterima akal sehat. Mungkin saja ada seorang anak kecil yang sangat jago ilmu bela diri di suatu tempat, tapi tidak senekat dan sebengal Pulung. Ia dengan berani mengadu ilmu dengan seorang preman demi mencari informasi mengenai penculik adiknya. Meski sayang adik, aksi Pulung tetap tidak bisa dibenarkan. Karena tidak saja membahayakan dirinya tapi juga orang lain.
Biar bengal, Pulung saat taat pada apa yang dikatakan oleh ibunya. Ia bahkan membaca doa ajaran ibu saat menghadapi masalah. Doa tolak balak ajaran ibu menjadi kekuatan baginya untuk berani menghadapi apapun. Doa itu ada di halaman 205.
Sementara sikap si bapak, buat saya cenderung mengarah pada kekerasan dalam rumah tangga. Mendidik anak, entah perempuan atau laki-laki memang tidak salah jika harus tegas. Tapi apakah tegas itu harus identik dengan kekerasan, jelas tidak.
Oh ya, bagian yang mengisahkan mengenai telepon yang masih harus mempergunakan bantuan operator membuat saya makin menyukuri kehidupan saat ini. Memang dengan demikian mudah bagi Polisi untuk melacak pelaku kejahatan, tapi ketika petugas sedang tidak bisa dihubungi tentunya malah membuat penyelidikan terhambat. Zaman sekarang, kita bisa berlangganan aneka fasilitas yang tidak terbayangkan dahulu.
Entah bagaimana ceritanya ada dua buku dalam rak saya. Satu, versi tahun 1984, saya ingat merupakan hadiah dari Pra saat IRF. Tapi versi satunya saya lupa dari mana. Saat mengeluarkan timbunan buku buluk untuk dibaca, baru saya menyadari ada dua Pulung.
Ah, satu Pulung saja sudah membuat jantung saya berdetak kencang. Apalagi dua Pulung.
Disain sampul dan ilustrasi: Sadimin
Halaman: 248
Cetakan: Kedua-Desember 1984
Penerbit: PT Gramedia
Sekali lagi berurusan dengan Pulung. Untuk kali ini, kita akan berkenalan dengan adik Pulung, Si Polan. Juga mengetahui lebih jauh mengenai adik bapaknya, Si Man.
Polan dan Pulung sedang plesiran ke rumah Si Man, adik bapaknya yang menjadi Polisi. Karena kesepian, Polan mencari teman. Ia berkenalan secara tidak sengaja dengan 3 M, Maria Margaretha Nurfianti alias Fifi. Putri tunggal seorang pengusaha kaya.
Ternyata perkenalan itu membawa Polan berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Dengan niat untuk menemani Fifi olah raga, pagi hari ia mendatangi rumah Firi. Alih-alib erolah raga, ia malah diculik dengan harapan agar mampu membuat Fifi mau bertemu sehingga Fifi juga bisa diculik dan dimintakan tebusan.
Pulung yang merasa adiknya hilang mulai melakukan pencarian. Tidak hanya karena dimarahi bapak karena tidak bisa menjaga adik, atau karena tidak tega melihat ibu yang menangis, namun memang ia sayang Polan dengan caranya sendiri.
Sementara Pulung berusaha mencari Polan, Fifi yang merasa kesepian dan merasa bersalah juga mencoba mencari Polan dengan caranya sendiri. Ia nekat melanggar janji dengan mama untuk tidak keluar rumah. Akibatnya bisa ditebak, Fifi menghilang!
Kegemparan terus berlanjut. Apa lagi menghilangnya Fifi terkait dengan rahasia besar keluarga yang selama ini disembunyikan dengan rapi.
Tugas Pulung tidak saja hanya mencari Polan tapi juga mencari Fifi. Dengan berat hati ia harus bekerja sama dengan Si Man. Meski ia tahu Si Man dan istrinya sangat menyayangi dia dan adiknya tapi tetap saja, ia tak bisa akur dengan Si Man.
Kisah dalam buku ini agak-agak membuat saya merinding. Aksi jagoan Pulung sulit diterima akal sehat. Mungkin saja ada seorang anak kecil yang sangat jago ilmu bela diri di suatu tempat, tapi tidak senekat dan sebengal Pulung. Ia dengan berani mengadu ilmu dengan seorang preman demi mencari informasi mengenai penculik adiknya. Meski sayang adik, aksi Pulung tetap tidak bisa dibenarkan. Karena tidak saja membahayakan dirinya tapi juga orang lain.
Biar bengal, Pulung saat taat pada apa yang dikatakan oleh ibunya. Ia bahkan membaca doa ajaran ibu saat menghadapi masalah. Doa tolak balak ajaran ibu menjadi kekuatan baginya untuk berani menghadapi apapun. Doa itu ada di halaman 205.
Sementara sikap si bapak, buat saya cenderung mengarah pada kekerasan dalam rumah tangga. Mendidik anak, entah perempuan atau laki-laki memang tidak salah jika harus tegas. Tapi apakah tegas itu harus identik dengan kekerasan, jelas tidak.
Oh ya, bagian yang mengisahkan mengenai telepon yang masih harus mempergunakan bantuan operator membuat saya makin menyukuri kehidupan saat ini. Memang dengan demikian mudah bagi Polisi untuk melacak pelaku kejahatan, tapi ketika petugas sedang tidak bisa dihubungi tentunya malah membuat penyelidikan terhambat. Zaman sekarang, kita bisa berlangganan aneka fasilitas yang tidak terbayangkan dahulu.
Entah bagaimana ceritanya ada dua buku dalam rak saya. Satu, versi tahun 1984, saya ingat merupakan hadiah dari Pra saat IRF. Tapi versi satunya saya lupa dari mana. Saat mengeluarkan timbunan buku buluk untuk dibaca, baru saya menyadari ada dua Pulung.
Ah, satu Pulung saja sudah membuat jantung saya berdetak kencang. Apalagi dua Pulung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar