Penulis: Nh Dini
Desain sampul: Suprianto
Ilustrasi Menara Kudus: Ade Pristi
Setter: Fitri Yuniar
ISBN: 9786020316512
Halaman: 268
Cetakan: Pertama-25 Mei 2015
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 65.000
Garis nasib tidak selalu lurus. Juga tidak selalu mulus. Di samping kepuasan-kepuasan, kegembiraan-kegembiraan, tentu tersuguh juga kerumpilan dan kekecewaan dalam kehidupan manusia.
~hal 244
Sahabat saya sering diminta membantu sebuah kegiatan peluncuran sebuah buku baru, ia diminta menghimpun masa serta melakukan promosi melalui akun media sosialnya. Untuk memudahkan promosi, sahabat saya mendapat kemudahan dengan dikirimi draf buku yang akan diluncurkan. Dengan semangat yang sangat layak diacungi semua jempol tangan, ia memprovokasi para sahabat untuk hadir pada acara tersebut.
Bahkan saya ikut hadir meski penulis dan genre buku tersebut bukan bacaan saya. Saya datang hanya karena menghargai sahabat saya yang begitu bersemangat membantu mensukseskan acara tersebut.
Setelah acara selesai, seperti biasa kami pindah tempat dan meneruskan obralan. Dari situ saya tahu, ia hanya mendapat beberapa buat buku, souvenir sepele serta ucapan terima kasih. Saya yakin sekali buku yang ia terima juga belum tentu ia suka. Memprihatinkan buat saya! Jika tidak bisa memberi sekedar ongkos taxi, bisa diganti dengan voucher dari penerbit. Minimal ia bisa memilih buku yang ia suka. Hanya karena kecintaan akan dunia buku yang membuatnya sudi melakukan itu semua.
Saya dulu begitu, sekarang tidak lagi (mirip lagu). Beberapa kenalan-orang yang saya kenal sekedarnya saja, meminta saya membaca draf novelnya dan memberikan masukan. Sekali saya membaca dan memberikan masukan lalu mengirim kembali ke penulisnya. Tak lama saya mendapat balasan berisi draf yang sudah direvisi, bisa beberapa kali seperti itu. Saya seakan menjadi editor mereka. Jika saya ada waktu dan kisahnya menarik tentunya tidak masalah buat saya. kadang ada yang marah-marah karena saya agak lama memberikan respon. Mereka mungkin lupa, saya juga punya kehidupan pribadi. Kisah yang mereka tulis juga sering kali bukan dari jenis bacaan saya.
Kenapa niat baik saya jadi membuat orang salah kira? Kalau butuh tenaga yang siap 24 jam 7 hari seminggu maka ikat dia dengan kontrak dan bayar setiap waktu yang dihabiskan. Pernah karena terlewat emosinya, saya membalas omelannya dengan kalimat, "Saya bukan editor yang dibayar untuk memberikan masukan bagi karya anda, jadi suka-suka saya kapan saya mau membaca karya anda." Sejak ia menerima kalimat itu ia berhenti menghubungi saya. Baguslah. Belum jadi penuiis besar saja sudah terlalu banyak lagak.
Entah kebetulan atau bagaimana, beberapa hal yang sedang ramai dibicarakan orang juga diungkap dalam buku ini. Pertama perihal pengeras suara alias toa di mesjid. Di halaman xix, ditulis, " Pendek kata, ketenangan dan kenyamanan yang kuharapkan sebelum pindah ke ota itu, tidak kudapatkan. Itu masih ditambah seruan pengeras suara 17 Mesjid di keliling kompleks YWM yang mulai memasang kaset berisi entah doa entah ceramah pada pukul 3 dinihari! Perasaanku sungguh-sungguh terhimpi."
Kedua tentang kisah bagaimana seorang wartawan suka sensasi kena batunya ketika membuat tulisan tentang istri Ajip Rosidi. Belakangan, sering kita temui judul berita penuh sensasi di media. Ketika kita membaca, isi beritanya sekedar membuat suasana ramai dengan sensasi semata. Ternyata dari dahulu sudah ada tipe wartawan seperti itu, meski banyak juga yang menjalankan profesinya dengan benar.
Selanjutnya, film Minions yang ramai dibicarakan juga membuat nama sutradara film Pierre-Louis Padang Coffin ikut terangkat. Anak bungsu eyang ini, disebutkan sebagai pemakan daging dalam buku. "Pikiranku melayang kepada Padang, anakku yang bungsu. Dialah 'pemakan daging'....Tidak jauh dari Kampung Sekayu, ada penjual sate ponorogo. Kekhasan sate ini ialah menggunakan daging sapi sebagai bahan. Irisan-irisan persegi yang cukup besar tertata di tiap tusuk batang bambu. Anakku mampu menghabiskan 20 hingga 30 tusuk! Mungkin lebih seandainya aku mampu membelinya." Begitulah seorang ibu, ia akan membeli matahari jika mampu untuk sang anak.
Pesan moral seorang ibu yang sering dikutip eyang membuat buku ini memiliki nilai lebih lagi. Anggaplah sebagai wacana dalam menghadapi hidup ini. Contohnya saat eyang kehilangan benda sepele tapi saat dibutuhkan . Kita harus iklas, merelakan barang yang diambil orang karena mungkin saja barang-barang tersebut bisa membuat bahagia yang mengambil. Eyang tidak saja kehilangan seprei, sarung bantal dan selimut. Tapi juga jacket, payung serta sandal. Seperti barang-barang itu diambil oleh calon-calon asisten rumah tangga yang hanya tinggal beberapa hari. Nelongso, Untungnya eyang selalu mengingat pesan ibundanya, "Ya, meskipun kamu atau yang kehilangan merasa rugi atau sedih, kebalikannya, yang mendapatkan benda itu tentunya merasa senang, malahan mungkin bahagia ...!
Namanya juga pengarang besar, tentunya tetap ada bagian yang menguraikan tentang buku. Dalam hal ini eyang menguraikan tentang suasana nyaman yang dikenalnya saat di Jepang. Kebanyakan orang Jepang di dalam kereta atau bus selalu mengambil dua sikap, memejamkan mata atau membaca. Jarang kita temui penumpang yang termenung-menung dengan mata terbuka di kereta atau bus. Dalam urusan membaca, bangsa Jepang merupakann pembaca yang sangat handal. Perpustakaan besar dan kecil tersebar di seluruh kota hingga pelosok desa. Jumlah perpustakaan yang dikelola oleh swasta serta pribadi adalah sebesar sepertiga dari keseluruhan jumlah perpustakaan yang ada. Bagi bangsa Jepang membaca adalah sebuah budaya.
Untuk mereka yang dengan santainya "nodong" buku baru ke sahabat yang kebetulan penulis, mungkin kisah di halaman 234-237 bisa membuat kalian (eh saya juga meski kadang-kadang) berpikir dua kali ketika akan melakukan hal tersebut lagi.
Jika di luar negeri seorang pengarang bisa kaya raya dengan sebuah buku best seller, tidak demikian di tanah air. Eyang bahkan sempat menolak penghargaan karena merasa panitia tidak fair. Mereka dengan mudahnya memberikan penghargaan pada orang yang belum cukup berkarya tapi sering muncul di koran.
Kover buku dengan nuansa bunga aneka warna ini menawarkan pemandangan yang neyejukan hati bagi yang melihatya. Ditambah dengan warna judul dan penulisnya. Menurut saya eyang sangat rendah hati karena membiarkan nama beliau ditulis secukupnya, tidak seperti penulis lain yang namanya dicetak dengan huruf berukuran besar melebihi judul. Meski demikian saya agak bingung dengan ilustrasi Menara Kudus. Apakah sekedar untuk memperjelas lokasi kisah atau hal lainnya,
Buku ini berjodoh dengan cara yang unik. Setelah melakukan pembayaran, saya lupa melakukan konfermasi pada si penjual. Setelah nyaris dua minggu baru saya ingat. Untunglah buku ini masih ada dalam persediaan.
Sebelum saya makin ngelantur ngalor-ngidul, ada baiknya saya akhiri review ala curhatan saya dengan menawarkan sebuah perenungan yang bersumber dari buku ini.
Desain sampul: Suprianto
Ilustrasi Menara Kudus: Ade Pristi
Setter: Fitri Yuniar
ISBN: 9786020316512
Halaman: 268
Cetakan: Pertama-25 Mei 2015
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 65.000
Garis nasib tidak selalu lurus. Juga tidak selalu mulus. Di samping kepuasan-kepuasan, kegembiraan-kegembiraan, tentu tersuguh juga kerumpilan dan kekecewaan dalam kehidupan manusia.
~hal 244
ke.rum.pil.an
Nomina (kata benda) perihal rumpil; kesukaran; kesulitan; kesusahan: berbagai kerumpilan yang dihadapi untuk mencapai keberhasilan
Nomina (kata benda) perihal rumpil; kesukaran; kesulitan; kesusahan: berbagai kerumpilan yang dihadapi untuk mencapai keberhasilan
Salah satu keuntungan membaca karya Eyang Nh. Dini adalah saya bertambahnya kosakata saya. Tentunya selain hiburan membaca kisah dalam Seri Cerita Kenangan. Bagi banyak orang yang berkecimpung di dunia sastra, kata kerumpilan mungkin bukan kata yang baru. Tapi bagi saya yang hanya sekedar hobi membaca, kata tersebut menjadi tambahan kosakata baru.
Sebanyak xxi + 268 + xxi halaman berisi autobiografi si penulis, saya meyebutnya dengan sapaan eyang. Buku ini memaparkan tentang kehidupan eyang diusia sepuh. Meski berusia senja, eyang seakan memiliki energi yang tidak pernah habis untuk mengurusi pondok baca, menjadi pembicara serta berbagai keiatan yang terkait dengan dunia sastar di tanah air.
Kisah dalam buku ini terjadi antara kurun tahun 2000-2006 saat eyang memutuskan untuk tinggal di rumah jompo Yayasan Wredha Mulya di Sendowo, Sleman, DIY, YWM.
Tidak hanya kisah, jika diperhatikan dengan lebih seksama, eyang juga memasukan tambahan ilmu saat mengulas tentang suatu hal. Saat menerima hadiah dari Ratu Sirikit di Bangkok misalnya, eyang juga memberikan ulasan singkat mengenai latar belakang Thailand. Selain membuat pembaca memiliki bayangan mengenai lokasi kisah, ikut merasakan apa yang dirasakan penulis, pembaca juga menjadi tahu tentang negara Thailand, meski hanya garis besar saja.
Saya terbuai dengan paduan rangkaian kata dan sikap eyang yang mandiri meski usia sudah sepuh. Tak ada alasan untuk tidak mandiri. Eyang justru memilih tinggal di YWM karena memiliki keinginan untuk tidak merepotkan orang lain. Kontras memang, saat banyak penghuni panti jompo yang merasa dibuang oleh keluarganya karena dikirim ke sana.
Satu lagi prinsip hidup eyang yang sangat saya kagumi adalah cara berpikir yang sangat realitis. Perihal keuangan eyang sangat mandiri, segala pengeluaran tentunya menjadi pemikirannya. Tak terkecuali Pondok Baca. Saat menerima hadiah songket, eyang meminta seorang pembesar daerah menukar songket itu dengan sejumlah uang. Bukan tidak menghargai pemberian, eyang sangat sadar tidak akan mampu mempergunakan kain tebal tersebut. Uang bermanfaat bagi pengembangan serta kelangsungan Pondok Baca.
Saya jadi teringat sebuah tas jinjing halus yang saya hadiahkan saat bertemu. Melihat eyang yang kerepotan membawa aneka barang, saya aturi tas tersebut kebetulan masih baru. Jika dipakai, tentunya saya bersyukur, jika nasibnya seperti songket itu, saya juga bersyukur karena telah berpartisipasi dalam urusan Pondok Baca, meski secara tidak langsung.
Sebuah bagian yang mengisahkan bagaimana eyang merasa wajar jika ia memasang tarif sebagai pembicara, membuat saya seakan-akan berkaca pada kondisi sekitar. Saya sangat setuju dengan hal itu, wujud profesionalisme. Kecuali saat eyang memang sedang membagi ilmu dan tenaga untuk amal. Di halaman 244, eyang menyebutkan nama beberapa universitas yang menghargai kehadiran eyang. Termasuk soal honorarium yang amat layak disamping biaya transpor yang dermawan.Sahabat saya sering diminta membantu sebuah kegiatan peluncuran sebuah buku baru, ia diminta menghimpun masa serta melakukan promosi melalui akun media sosialnya. Untuk memudahkan promosi, sahabat saya mendapat kemudahan dengan dikirimi draf buku yang akan diluncurkan. Dengan semangat yang sangat layak diacungi semua jempol tangan, ia memprovokasi para sahabat untuk hadir pada acara tersebut.
Bahkan saya ikut hadir meski penulis dan genre buku tersebut bukan bacaan saya. Saya datang hanya karena menghargai sahabat saya yang begitu bersemangat membantu mensukseskan acara tersebut.
Setelah acara selesai, seperti biasa kami pindah tempat dan meneruskan obralan. Dari situ saya tahu, ia hanya mendapat beberapa buat buku, souvenir sepele serta ucapan terima kasih. Saya yakin sekali buku yang ia terima juga belum tentu ia suka. Memprihatinkan buat saya! Jika tidak bisa memberi sekedar ongkos taxi, bisa diganti dengan voucher dari penerbit. Minimal ia bisa memilih buku yang ia suka. Hanya karena kecintaan akan dunia buku yang membuatnya sudi melakukan itu semua.
Saya dulu begitu, sekarang tidak lagi (mirip lagu). Beberapa kenalan-orang yang saya kenal sekedarnya saja, meminta saya membaca draf novelnya dan memberikan masukan. Sekali saya membaca dan memberikan masukan lalu mengirim kembali ke penulisnya. Tak lama saya mendapat balasan berisi draf yang sudah direvisi, bisa beberapa kali seperti itu. Saya seakan menjadi editor mereka. Jika saya ada waktu dan kisahnya menarik tentunya tidak masalah buat saya. kadang ada yang marah-marah karena saya agak lama memberikan respon. Mereka mungkin lupa, saya juga punya kehidupan pribadi. Kisah yang mereka tulis juga sering kali bukan dari jenis bacaan saya.
Kenapa niat baik saya jadi membuat orang salah kira? Kalau butuh tenaga yang siap 24 jam 7 hari seminggu maka ikat dia dengan kontrak dan bayar setiap waktu yang dihabiskan. Pernah karena terlewat emosinya, saya membalas omelannya dengan kalimat, "Saya bukan editor yang dibayar untuk memberikan masukan bagi karya anda, jadi suka-suka saya kapan saya mau membaca karya anda." Sejak ia menerima kalimat itu ia berhenti menghubungi saya. Baguslah. Belum jadi penuiis besar saja sudah terlalu banyak lagak.
Entah kebetulan atau bagaimana, beberapa hal yang sedang ramai dibicarakan orang juga diungkap dalam buku ini. Pertama perihal pengeras suara alias toa di mesjid. Di halaman xix, ditulis, " Pendek kata, ketenangan dan kenyamanan yang kuharapkan sebelum pindah ke ota itu, tidak kudapatkan. Itu masih ditambah seruan pengeras suara 17 Mesjid di keliling kompleks YWM yang mulai memasang kaset berisi entah doa entah ceramah pada pukul 3 dinihari! Perasaanku sungguh-sungguh terhimpi."
Kedua tentang kisah bagaimana seorang wartawan suka sensasi kena batunya ketika membuat tulisan tentang istri Ajip Rosidi. Belakangan, sering kita temui judul berita penuh sensasi di media. Ketika kita membaca, isi beritanya sekedar membuat suasana ramai dengan sensasi semata. Ternyata dari dahulu sudah ada tipe wartawan seperti itu, meski banyak juga yang menjalankan profesinya dengan benar.
Selanjutnya, film Minions yang ramai dibicarakan juga membuat nama sutradara film Pierre-Louis Padang Coffin ikut terangkat. Anak bungsu eyang ini, disebutkan sebagai pemakan daging dalam buku. "Pikiranku melayang kepada Padang, anakku yang bungsu. Dialah 'pemakan daging'....Tidak jauh dari Kampung Sekayu, ada penjual sate ponorogo. Kekhasan sate ini ialah menggunakan daging sapi sebagai bahan. Irisan-irisan persegi yang cukup besar tertata di tiap tusuk batang bambu. Anakku mampu menghabiskan 20 hingga 30 tusuk! Mungkin lebih seandainya aku mampu membelinya." Begitulah seorang ibu, ia akan membeli matahari jika mampu untuk sang anak.
Pesan moral seorang ibu yang sering dikutip eyang membuat buku ini memiliki nilai lebih lagi. Anggaplah sebagai wacana dalam menghadapi hidup ini. Contohnya saat eyang kehilangan benda sepele tapi saat dibutuhkan . Kita harus iklas, merelakan barang yang diambil orang karena mungkin saja barang-barang tersebut bisa membuat bahagia yang mengambil. Eyang tidak saja kehilangan seprei, sarung bantal dan selimut. Tapi juga jacket, payung serta sandal. Seperti barang-barang itu diambil oleh calon-calon asisten rumah tangga yang hanya tinggal beberapa hari. Nelongso, Untungnya eyang selalu mengingat pesan ibundanya, "Ya, meskipun kamu atau yang kehilangan merasa rugi atau sedih, kebalikannya, yang mendapatkan benda itu tentunya merasa senang, malahan mungkin bahagia ...!
Namanya juga pengarang besar, tentunya tetap ada bagian yang menguraikan tentang buku. Dalam hal ini eyang menguraikan tentang suasana nyaman yang dikenalnya saat di Jepang. Kebanyakan orang Jepang di dalam kereta atau bus selalu mengambil dua sikap, memejamkan mata atau membaca. Jarang kita temui penumpang yang termenung-menung dengan mata terbuka di kereta atau bus. Dalam urusan membaca, bangsa Jepang merupakann pembaca yang sangat handal. Perpustakaan besar dan kecil tersebar di seluruh kota hingga pelosok desa. Jumlah perpustakaan yang dikelola oleh swasta serta pribadi adalah sebesar sepertiga dari keseluruhan jumlah perpustakaan yang ada. Bagi bangsa Jepang membaca adalah sebuah budaya.
Untuk mereka yang dengan santainya "nodong" buku baru ke sahabat yang kebetulan penulis, mungkin kisah di halaman 234-237 bisa membuat kalian (eh saya juga meski kadang-kadang) berpikir dua kali ketika akan melakukan hal tersebut lagi.
Jika di luar negeri seorang pengarang bisa kaya raya dengan sebuah buku best seller, tidak demikian di tanah air. Eyang bahkan sempat menolak penghargaan karena merasa panitia tidak fair. Mereka dengan mudahnya memberikan penghargaan pada orang yang belum cukup berkarya tapi sering muncul di koran.
Kover buku dengan nuansa bunga aneka warna ini menawarkan pemandangan yang neyejukan hati bagi yang melihatya. Ditambah dengan warna judul dan penulisnya. Menurut saya eyang sangat rendah hati karena membiarkan nama beliau ditulis secukupnya, tidak seperti penulis lain yang namanya dicetak dengan huruf berukuran besar melebihi judul. Meski demikian saya agak bingung dengan ilustrasi Menara Kudus. Apakah sekedar untuk memperjelas lokasi kisah atau hal lainnya,
Buku ini berjodoh dengan cara yang unik. Setelah melakukan pembayaran, saya lupa melakukan konfermasi pada si penjual. Setelah nyaris dua minggu baru saya ingat. Untunglah buku ini masih ada dalam persediaan.
Sebelum saya makin ngelantur ngalor-ngidul, ada baiknya saya akhiri review ala curhatan saya dengan menawarkan sebuah perenungan yang bersumber dari buku ini.
Apa pun yang tidak diasah, akhirnya selalu menjadi tumpul. Segumpal batu atau berlian yang memiliki nilai jual tinggi sekalipun harus diasah lebih dahulu, dipotong dan dikikis dengan pertimbangan sudut serta segi tertentu agar memantulkan sinar sehingga berkilauan. Demikian pula halnya akal manusia, alat terpenting karunia Yang Maha Kuasa. Bakat yang dimiliki seseorang tidak akan matang, kemudian mewujudkan sesuatu hasil jika tidak dipupuk dan diasah.Ini bakat dan hobiku
Mana bakat dan hobi kalian yang siap dipupuk dan diasah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar