Penulis: Fernando Báez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Penyunting: Ronny Agustinus
ISBN 978-979-1260-24-4
Halaman:373
Harga: Rp 73.000
Apakah saya (mungkin juga kalian) bibliosida?
Bibliosida adalah sebutan bagi mereka yang menghancurkan buku. Tadinya
saya kira penghancuran yang dimaksud adalah penghancuran dalam arti wujud buku
secara fisik.
Seperti pembakaran buku beberapa waktu lalu, menyobek buku untuk
bungkus sayur, atau mencoret-coret buku. Sebut saja 3.000 buku koleksi Dr
Iwan Gardono Sujatmiko yang musnah terbakar saat kebakaran di Gedung C
FISIP UI beberapa waktu yang lalu, itu juga bisa disebut penghancuran buku.
Pembakaran buku, biblioklasme atau librisida merupakan suatu
tindakan memusnahkan buku atau media lainnya. Kadang kegiatan ini dilakukan
secara seremonial di depan umum atas dasar politik, keagamaan dan moral.
Buku-buku dibakar, dihancurkan, atau dimusnahkan. Misalnya buku yang
dibakar serentak oleh sebuah penerbit besar atas desakan sebuah
organisasi keagamaan.
Namun ternyata editor dan pustakawan juga bisa melakukan penghancuran
buku. Caranya dengan tidak jadi menerbitkan sebuah buku karena pengeditan atau isi
yang dianggap tidak layak. Jelas ini sangat mengganggu pikiran saya.
Saat
ini membuat sebuah review yang jujur dan menyebutkan kekurangan buku itu hingga
ada yang urung membeli dan membacanya, apakah saya juga menyebabkan
kehancuran sebuah buku? Sungguh menyeramkan! Lalu bagaimana polah para penimbun
buku? Mereka membiarkan sebuah buku tergeletak tanpa dibaca.
Sang penulis mengungkapkan sebuah fakta bahwa buku-buku dihancurkan
bukan oleh ketidaktahuan awam atau kurangnya pendidikan, melainkan justru
oleh kaum terdidik dengan motif ideologis masing-masing. Dan ini bisa
menjelaskan fenomena di Indonesia ketika profesor, pejabat pemerintah, bahkan
penerbit sendiri ikut-ikutan membakar buku.
Uraian ini mengingatkan saya pada kisah seorang sahabat tentang sebuah
konsersium kagetan yang dibentuk untuk membeli buku-buku yang dikeluarkan dari
perpustakaan. Mereka sengaja membentuk konsersium itu guna menahan keinginan
salah satu pebisnis yang ingin membeli buku-buku itu untuk dijadikan bubur
kertas! Penghancuran buku dengan alasan untuk menciptakan buku baru.
Sebuah kalimat berikut mengganggu pikiran saya, "Ada ratusan
kajian mengenai asal mula buku dan perpustakaan, tapi tidak ada satupun sejarah
mengenai penghancurannya." Sepertinya penghancuran buku adalah hal
yang harus ditutupi. Padahal dengan memahami kenapa ada penghancuran kita bisa
mengupayakan agar hal itu tidak terjadi.
Penghancuran buku dilakukan dengan atau tidak sengaja. Misalnya tentang penghancuran Perpustakaan Zahiriya. Pada 1108 pasukan Perang Salib menghancurkan Perpustakaan Zahiriya di Damaskus, lebih dari 3 juta buku dimusnahkan. Setahun setelahnya, tepatnya pada Juli 1109 dibakar 100.000 volume dari Perpustakaan Islam yang terkenal di Tipoli.
Urusan penghancuran buku masih berlanjut. Ketika Kontantinopel jatuh tahun 1453 pasukan Turki di bawah komando Sultan Muhammad al-Fatih menghancurkan patung-patung, gereja, dan buku. Selama tiga hari mereka melakukan penghancuran. Permata yang menempel di buku dicongkel, sekitar 120.000 manuskrip dibuang kelaut dengan diikat terlebih dahulu. Manuskrip yang isinya tidak sejalan dengan pandangan para pengikut Nabi Muhammad(hal 107).
Dunia mengetahui peristiwa penjarahan Museum Arkeologi Bagdad pada 12
April 2003. Tiga puluh koleksi hilang, lebih dari empat belas ribu koleksi
kecil raib dan hancurnya ruang pamer. Tanggal 14 April sejuta buku di
Perpustakaan Nasional di bakar, begitu juga Arsip Nasional. Rekam sejarah dalam
bentuk buku, manuskrip bahkan sekeddar hasil penelitian raib dalam hitungan
waktu
Perlu dibedakan antara kata "Hilang" dan "Musnah"
walau sulit dibedakan dalam sejarah buku. Kadang sebuah karya hilang karena
dimusnahkan, dan kadang musnah karena hilang atau belum ditemukan. Dalam
KBBI, hi·lang v 1 tidak ada lagi; lenyap; tidak
kelihatan: tiba-tiba benda itu -- dr pemandangannya;.... Sementara musnah
/mus·nah/ v 1 lenyap; binasa: segala hartanya -- dimakan
api; 2 hilang....
Uraian pada halaman 154 mungkin bisa diartikan sebagai makna diduga
musnah ternyata ditemukan.
Al-Quran berbahasa Arab pertama dicetak oleh Paganini pada
tahun 1537. Konon diberangus atas dasar instruksi langsung Paus. Selama ratusan
tahun diyakini tidak ada cetakan yang tersisa, namun pada tahun
1987 Angela Nuvono menemukan satu ekslempar tersisa di dunia,
tersimpan dalam perpusatakaan Fratri Minori de San Michele di Isola,
Venesia."
Upaya penyelamatan buku pernah dilakukan oleh seorang perempuan
berdarah Swabia, Wiborada dari biara Saint Gall, Swiss. Ia mendapat penampakan
tentang penghancuran buku. Sehari sebelum serangan, pada dini hari 1 Mei 926,
ia mengubur buku-buku koleksi perpustakaan.
Penyerbuan memang berhasil dihalau
tapi kebakaran yang terjadi cukup besar. Wiborada ditemukan tergeletak terluka
parah di atas gundukan tanah dimana buku-buku dikubur. Atas tindakan beraninya,
ia mendapat gelar Santa. Santa pelindung para pecinta buku.
Pada zaman Yunani kuno, buku adalah selembar papirus yang digulung,
panjangnya bervariasi. Saat itu buku disebut Biblos sementara membaca disebut
anagnosis berarti baca bersama. Sementara itu tindakan membuka gulungan papirus
untuk membaca disebut annelitto.
Dalam
http://www.talkmen.com/articles/read/811/7-pembakaran-buku-bersejarah
disebutkan berbagai peristiwa tentang pembakaran buku.
Diantara ada buku dengan
huruf Braile yang dimusnakan atas dasar rasa takut jika guru-guru yang
memiliki penglihatan normal tidak akan dibutuhkan lagi oleh para murid
tunanetra, karena mereka berhasil membaca melalui huruf Braille.
Buku tentang penghancuran buku ini berisikan tiga bagian utama. Bagian
Pertama: Dunia Kuno, Bagian Kedua: Dari Byzantium Hingga Abad ke-19, Bagian
Ketiga: Dari Abad ke-20 Hingga Sekarang. Setelah itu ada uraian tentang
Pascawacana: Penghancuran Buku dalam Cerita Fiksi.
Guna menulis buku ini Fernando Baez melakukan penelitian selama belasan
tahun untuk melihat sejarah pemusnahan buku dari zaman dahulu, mulai dari Byzantium,
Mesir, Yunani dan Romawi hingga saat ini. Uraian tentang catatannya lebih dari
lima puluh halaman.
Seorang mahasiswa sejarah mengajukan pertanyaan “Mengapa manusia
menghancurkan buku?”, kepada sang penulis karena menganggap ialah pakarnya.
Tergelitik oleh pertanyaan itu, ia pun menyusun kajian ini. Merentang dari awal
peradaban tulis hingga kasus-kasus kontemporer, inilah kajian sejarah global
pertama tentang bibliosida (penghancuran buku) dari masa ke masa. Sebuah
pertanyaan yang tidak memiliki jawaban pasti.
Kover buku ini sungguh menarik. Dibuat seolah-olah buku ini terbakar,
lengkap dengan bagian yang bolong seakan habis dilalap api. Sisi kanan dibuat
seakan kertas tersebut mulai terbakar api meninggalkan kesan hangus dengan
bentuk tak beraturan. Sementara ilustrasinya menggunakan buku-buku yang seakan
terbakar.
Halaman belakang juga tak ketinggalan terkena sentuhan habis terbakar
walau tidak seheboh halaman muka. Walaupun untuk itu saya mengalami sedikit
kesulitan untuk menyampulnya, tapi kover buku ini menawan. Langsung
menyampaikan inti dari hal-hal yang terkandung dalam buku.
Butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikan buku ini. Bukan karena buku ini merupakan buku sejarah atau kajian budaya tapi karena isinya. Isinya membuat emosi saya tercampur aduk.
Sedih saat mengetahui sebuah buku dihancurkan karena
sama artinya menghancurkan pikiran seseorang, buah karya seseorang. Gembira
saat tahu sebuah buku tersimpan aman dan telepas dari behaya penghancuran.
Mengutuk mereka yang menghancurkan buku, karena sama artinya mereka
menghancurkan perabadan.
Seperti yang saya uraikan di atas. Scara pribadi buku ini membuat saya
jadi berpikir akan koleksi saya. Apakah dengan menyimpan saya juga telah
melakukan penghancuran buku?
Apakah review saya membuat sebuah buku musnah
Entahlah, yang pasti saya sedang belajar berbagi.
THX buat Sis Ira atas buku ini.
Isinya benar-benar bikin merinding hiksss
Tapi perlu dibaca untuk kita yang mencintai buku
Sumber gambar
http://www.dw.de/aksi-pembakaran-buku-10-mei-1933-di-jerman/a-16803353
http://www.chine-chinois.com/sylvain-en-chine/ascension-declin-dynastie-Qin
http://www.chine-chinois.com/sylvain-en-chine/ascension-declin-dynastie-Qin
Thanks nice post
BalasHapusthx sudah mampir
BalasHapusMemang ya,, buku itu lebih dari sekadar "harta", tetapi juga "senjata", kadang aku juga agak gimana gitu kalau meminjamkan buku inginnya menyimpannya, mengoleksinya secara pribadi. Ah, tapi nggak apa-apalah, toh kayak nikmat lainnya, kalau terus bersyukur, bukunya nambah dalam artian ada yang baru, nambah wawasan lagi dah. Pada akhirnya berbagi buku satu cara agar nggak ada penghancuran, kan bikin cerah, cuma butuh waktu memang. Hhehehe jadi pengen ngebaca, historikal bgt nih bku!
BalasHapussaya sudah membaca buku ini sejak akhir tahun yang lalu dan sampai skrg belum tamat karena kebanyakan mikir dan sibuk belajar sejarah melalui buku itu. Buku ini muatan sejarahnya beraaaatt bin lengkap. Ah, saya harus angkat topi pada Fernando Baez untuk semua ilmu yan dia rangkum dalam buku ini.
BalasHapusCover buku ini pun jadi cover terfavorit saya di 2013 (^_^)v
Makin hatihati kalo bikin repiu
BalasHapusSaya rasa review yang jujur tetap yang utama hanya saja lebih baik kita bersikap adil, mbak.
HapusJadi jangan cuma review jelek2nya tapi juga baik2nya. Kalau dari 5 aspek 4nya kurang menarik ya sampaikan, tapi sebutkan juga 1 aspek yang menurut kita bagus.
Dengan begitu pilihan tetap ada di pembaca review kita.
Karena kita menyampaikan kekurangan dan kelebihan masing-masing buku (^_^)
Itu menurut saya lho, mbak. Sebab saya sejak awal sangat sadar bahwa para penulis itu jauh lebih hebat dari saya karena saya sendiri hanya bisa bermimpi jadi penulis dan sampai sekarang belum terwujud. Jadi mereka yang bukunya berhasil masuk ke toko buku bagi saya pribadi patut saya hargai usahanya.
Haduh, punya saya masih ditimbunan :'(
BalasHapus