Penulis : Rully Roesli
Penyunting : Rini Nurul Badariah
ISBN: 978-602-9225-31-0
Halaman:200
Penerbit : Qanita
Hidup adalah pilihan.
Sesuatu
yang saya dan banyak orang yakini. Apakah kita memutuskan mengambil
pilihan ini, alih-alih yang lain semuanya terserah pada kita. Kelak
keputusan itu merupakan rangkaian konsekuensi yang harus kita hadapi
.Maka memilihlah dengan bijak agar tidak ada penyesalan kelak,
Tapi
bagaimana jika kita menjadi orang yang harus menentukan hidup
seseorang? Tentunya bukan suatu hal yang menyenangkan. Saat sebuah
pilihan diambil, maka satu nyawa terselamatkan tapi yang lain
menghilang. Rasa sesal akan selalu membayangi walau apapun pilihannya.
Yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan semaksimal mungkin agar
pilihan menyelamatkan satu nyawa merupakan pilihan yang paling benar,
mengingat pengorbanan nyawa lainnya.
Pilihan
tidak nyaman itu terpaksa dilakukan oleh Rully Roesli. Kematian memang
pada akhirnya akan menghampiri setiap insan, tapi bagaimana jika kita
yang harus menjadi perantara soal hidup mati seseorang. Sangat tidak
menyenangkan rasanya. Bak makan buah simalakama. " Aku tidak tahu,
mengapa harus begini. Dulu, niatku menjadi dokter ahli ginjal dan
mendirikan rumah sakit semata dilandasi kepedulian terhadap sesama.
Mengapa setiap hari Jumat aku harus terjebak perang bathin"
Buku
ini mengisahkan bagaimana pergolakan bathin seorang manusia yang
berprofesi sebagai dokter. Kisah ini dimulai dari RS Khusus Ginjal
(RSKG) R.A Habibie, Bandung. Setiap Jumat, Rully mengumpulkan staf yang
terdiri dari dokter, apoteker, pekerja sosial, perawat, bagian keuangan
serta wakil dari yayasan yang kebetulan seorang ahli hukum. Agenda
rapat adalah memutuskan pasien mana yang mendapat bantuan bebas biaya.
Setiap kasus akan ditelaah secara mendalam sebelum memutuskan pasien
mana yang terselamatkan karena mendapat kesempatan bebas biaya. Yang
tidak terpilih bisa saja meninggal kehabisan biaya.Saat itu program
bantuan pemerintah untuk khalayak tidak mampu belum ada. Ditambah dengan
situasi ekonomi yang tak menentu membuat nilai mata uang guna membeli
mesin cuci darah melonjak. Bantuan pembebasan biaya cuci darah merupakan
dambaan bagi pasien gagal ginjal.
Beberapa waktu yang
lalu, ada sebuah buku berjudul Huda, kisahnya mengenai seorang pasien
gagal ginjal yang terus berjuang hidup. Jika Huda dibuat dengan
mengambil sudut pandang pasien, maka buku ini mengambil sudut pandang
seorang dokter. Bagaimana seorang Rully harus melakukan pilihan.
Kadang seakan hati nurani tidak ada lagi. Tapi mau bagaimana,banyak
pasien yang membutuhkan bantuan sementara kemampuan terbatas maka
pilihan harus benar-benar tepat. Di beberapa bagian, ada juga kisah
bagaimana seorang Rully harus melakukan kebohongan-kebohongan kecil demi
kemanusiaan. Semuanya dilakukan demi kepentingan pasien semata.
Simak
kisah mengenai seorang pemilik angkutan. Sang bapak rela jika harus
menjual angkutan yang selama ini menafkahi keluarga demi kesembuhan sang
anak bungsu. Rully dengan sabar memberikan pengertian dan pilihan pada
sang bapak. Apakah akan menjual angkutan tersebut untuk menyambung nyawa
sang anak bungsu selama beberapa bulan ke depan namun membuat seluruh
keluarga kehilangan satu-satu tempat menggantungkan hidup. Atau
berpasrah diri dan mengharapkan yang terbaik demi sang anak. Tidak ada
yang meragukan kasih sayang seluruh keluarga pada sang anak bungsu, tapi
bagaimana juga pilihan harus diambil.
Kisah
dalam buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama mengisahkan
bagaimana Rully harus berperan dalam menentukan nasib seorang pasien.
Apakah pasien tersebut bisa mendapat bantuan atau tidak. Bagian kedua
mengenai kehidupan pasien yang beragam. Ada yang terlalu khawatir
terhadap kesehatan sehingga malah stres, tapi ada juga yang terlalu masa
bodoh sehingga berakibat fatal.
Bagian ketiga berisi
bagaimana seorang pasien bisa selamat dengan cara yang misterius. Campur
tangan Tuhan dengan cara yang misterius membuat seseorang bisa
selamat. Misalnya saja kasus seorang anak berusia 21 tahun yang ternyata
bisa terus mendapat bantuan cuci darah . Padahal seharusnya bantuan
dihentikan saat ia berusia 21 tahun. Bagian keempat mengajak pembaca
mengenal sosok seorang dokter. Walau bagaimana dokter juga manusia.
Terakhir kita akan diajak untuk sesaat merenung mengenai kematian.
Penulis mengisahkan bagaimana kematian pada akhirnya akan menghampiri
kita tanpa pandang bulu. Bahkan seorang dokter sekali pun tak bisa
mencegah saat kematian sudah menjemput orang terkasih.
Banyak
contoh kasus yang diuraikan dengan manis dalam buku ini. Membuat
pembaca bisa kian memahami bagaimana tegarnya sosok Rully saat harus
memutuskan bantuan yang berpengaruh secara tak langsung pada kehidupan
seseorang. Menyentuh. Pembaca juga dibuat lebih bersyukur akan anugrah
kesehatan yang diterima, serta diajak untuk lebih memperhatikan
kesehatan.
Sosok ibu yang menjadi inspirasi i terlihat
sekali dalam buku ini. Betapa kuat pengaruh ibu serta bagaimana bakti
seorang Rully terpancar dalam banyak untaian kata. Demikian juga rasa
kasih sayang terhadap keluarga terasa kental dalam kisah Adikku Harry.
Pembaca juga akan mendapat tambahan informasi mengenai Euthanasia. Euthanasia adalah
praktik pencambutan kehidupan manusia (atau hewan) dengan cara yang
baik. Ini merupakan pilihan tindakan pada pasien yang sudah tidak
memiliki harapan hidup (misalnya keadaan koma atau mati batang otak),
kesakitan yang amat sangat (misalnya penyakit kanker stadium lanjut),
atau penyakit kronis yang dan belum ditentukan obatnya. Ada juga Euthanasikon, penyebab utamanya bukan penyakit tapi situasi dan kondisi keluarga terutama dari sisi keuangan.
Hidup
memang pilihan. Walau seorang Rully sekali pun tidak pernah ingin
berada dalam situasi yang membuatnya harus melakukan pilihan yang sulit.
Tapi itu merupakan rangkaian proses dari pilihannya dahulu, “Niatku
menjadi dokter ahli ginjal dan mendirikan rumah sakit semata dilandasi
kepedulian terhadap sesama.”
Teruslah peduli terhadap sesama Prof
Sebongkah krikil tak ada artinya dibandingkan sebongkah besar kebaikan.
Mari kita merenung Lagu religius oleh Harry Roesli & RAF
Ya Tuhan, ya Rahman
Bawalah kami ke sana
Ke jalan lurus tanpa belokan
Datar merentang dan memanjang
ke Ridhlo Tuhan dan kenikmatan
Ke Pengampunan
Bawa aku bersama-MU
Hingga ku kelak pulang
Sampai tempat kami datang
Bawa.....bawa.....bawa
Ya Tuhan, ya Rahman
Bawalah kami ke sana
Bimbinglah kami ke sana
Bawa kami ke sana
Dan bimbinglah kami ke sana
Bimbinglah kami ke sana
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar