Matahari masih berada dalam peraduannya. Saat ini, bulanlah yang terlihat berkuasa di angkasa. Di sebuah kamar nyaman, wanita paruh baya terlihat gelisah di tempat tidur. Sudah sejak tadi ia berusaha pergi ke alam mimpi, namun tak juga berhasil. Entah kenapa ia yang biasanya gampang terlelap, kali ini susah sekali memejamkan mata.
Bosan berada di tempat tidur, wanita paruh baya itu segera mengambil baju hangat dan berjalan keluar kamar. Tujuannya sudah jelas, menuju daerah kekukuasaannya, perpustakaan pribadi yang berada di bagian lain dari rumah induk
"Malam eh pagi grandnie” suara petugas keamanan melalui pengeras suara terdengar santun. Wanita paruh baya yang dipanggil grandnie itu melambaikan tangannya. Rupanya si petugas melihatnya berjalan dan memberikan sekedar sapaan. Beberapa bagian rumah dan lingkungan tempat tinggal itu memang dipasang cctv sehingga memudahkan kerja petugas keamanan. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika petugas pengaman bisa melihat perjalannya dari kamar tidur menuju perpustakaan pribadi padahal saat itu pukul 2 dini hari.
Setelah sampai di depan perpustakaan, Wanita paruh baya itu tidak segera masuk ke dalam.. Ia memandangin sisi luar perpustakaan dengan perasaan sayang. Saat ini putra tunggalnya merenovasi perpustakaan pribadi itu sebagai hadiah ulang tahunnya. Tidak saja melengkapi keamanan super canggih, ruangan anti api, interior luar dan dalam juga mendapat perhatian. Perpustakaan itu menjadi tempat yang sangat aman dan nyaman.
Tak tahan dinginnya udara, wanita paruh bergegas masuk setelah menekan nomor kombinasi. Ia lalu menutup pintu dan menekan kode kunci dari dalam. Saat itu ia menginginkan kesendirian. Dipasangnya penghangat ruangan sesaat sebelum ia menuju lemari kaca terkunci yang ada dalam perpustakaan. Lemari itu juga dilengkapi dengan pengaman super canggih.
Lemarinya memang hanya lemari jati biasa, namun isinya yang sungguh luar biasa. Di dalam lemari itu tersimpan aneka buku-buku antik dan atribut pelengkapnya. Ada buku yang dikoleksinya sejak masih di sekolah dasar, buku dengan tanda tangan penulis, serta buku-buku edisi pertama. Sudah banyak pedagang buku antik yang merayunya merelakan isi lemari untuk dilego. Lemari itu jarang dibuka, kecuali saat ia melakukan ritual memberi hadiah buku yang diambil dari lemari itu bagi cucu kesayanganya, saat ada yang meminjam untuk pameran, atau untuk dipinjamkan bagi segelintir sahabat terpercayanya. Dan keadaan khusus seperti saat itu
Entah kenapa, saat itu ia ingin membaca ulang koleksinya yang berada dalam lemari itu. Matanya menyapu seluruh isi lemari dengan pandangan kasih sayang. Dipilihnya beberapa buku lalu dibawanya ke sofa yang ada di tengah ruangan. Wanita paruh baya itu duduk dan mulai membaca , namun baru beberapa saat ia sudah menutup buku itu dan menggantikannya dengan buku lain. Tapi buku itu pun kurang menarik perhatiannya.
Sebuah ketukan halus dipintu dirasa mengganggunya, hampir saja ia memarahi orang yang mengganggu ketenangannya di pagi buta. Ternyata wajah di balik kaca adalah wajah cucu kesayangannnya, wajah calon pewaris perpustakannya Wajahnya sesaat terlihat cerah . Sang cucu memberikan kode memohon ijin untuk masuk. Wanita paruh baya itu bergegas berdiri dan membukakan pintu
“Malam eh pagi grand” sapa sang cucu sambil melangkah masuk
“Tidak bisa tidur juga? Tadi saat mau ke halaman depan, Satpam cerita kalau grandnie belum lama pergi ke perpustakaan” sambung sang cucu .
“Kamu juga tidak bisa tidur, kenapa ?” Wanita paruh baya itu balik bertanya.
Sang cucu kesayangannya itu hanya tersenyum malas sambil duduk di sofa ”Sebentar lagi pendaftaran sekolah dimulai. Aku harus memutuskan akan melanjutkan kemana. Tetap tinggal di rumah atau masuk sekolah berasrama, lalu sekolah yang mana. Semakin banyak brosur yang aku dapat, semakin aku pusing memilih. Papi dan mami punya harapan yang berbeda. Walau mereka tidak memaksaku untuk menuruti kemauan mereka, namun dari wajah dan cara bicara mereka aku tahu, aku diharapkan memenuhi harapan salah satu dari mereka. Aku jadi pusing dan susah tidur” keluh cucu kesayangannya panjang lebar
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum. Tangannya menarik salah satu buku dari tumpukan di atas meja dan memberikannya kepada sang cucu, yang menerimanya dengan bersemangat. Untuk urusan buku, cucu dan nenek itu memang sangat kompak. Sang cucu selalu menerima pemberian grandnie-nya dengan senang. Setiap buku yang diberikan pasti mengandung banyak cerita.
”Ini salah satu buku yang jika dibaca ulang memberikan kesan yang berbeda. Buku ini termasuk satu dari sedikit buku yang sengaja grandnie koleksi lebih dari satu” paparnya dengan lembut . ”Buku ini merupakan kisah nyata upaya penulisnya meraih pendidikan terbaik, namanya A. Fuadi” lanjutnya.
”Maksud grandnie si penggagas Komunitas Menara, yang belum lama mendirikan sekolah gratis kesekian kalinya itu? ” tanya sang cucu dengan antusias. Berbicara dengan sang grandnie selalu menyenangkan karena ia akan mendapat tambahan informasi tentang para penulis.
Ditatapnya Buku Ranah Tiga Warna karangan A. Fuadi, dengan editor Danya Dewanti Fuadi serta Mirna Yulistianti. Proff reader oleh Novera Kresnawati dan Meilia Kusumadewi. ISBN buku setebal 473 halaman itu adalah 978-979-22-6325-1. Penerbitnya sudah pasti penerbit papan atas, Gramedia Pustaka Utama
” Ini buku edisi pertama yang pernah dibicarakan oleh Oma Dina dan Oma Ine untuk dimasukan menjadi salah satu arisan buku mereka ? Keren..........!” puji sang cucu dengan bersemangat.
”Grandnie tahu, yang beredar sekarang adalah cetakan kesekian kali. Buku ini sekarang menjadi buku bacaan wajib di sekolah” lanjut sang cucu dengan antusias sambil mulai membuka halaman buku.
” Dalam buku ini kamu akan tahu betapa seorang anak yang melangkah sekolah dengan tujuan ibadah dan tekat membanggakan keluarganya bisa mendapat kemudahan di segala hal. Masih ingat cerita 5 Menara?” tanya wanita paruh baya kepada cucunya. Sang cucu hanya memberikan anggukan singkat, ia terlihat serius membaca.
”Semangat Alif untuk belajar sebesar semangat tim sepak bola yang tidak pernah dijagokan mendadak malah menjadi juara pertama. Semangat bagaimana impian wajib dibela habis-habisan. Hidup boleh menjadi susah, namun impian dan tekat mewujudkan cita-cita harus terus dilakukan” lanjutnya.
”Grand, memangnya tokoh Alif dalam cerita ini tidak pernah merasa jenuh atau putus atas?” tanya sang cucu penasaran
” Pasti pernah. Biar bagaimana Alif juga manusia biasa, pasti ada rasa lelah, putus ada dan tak berdaya. Untung ia mempunyai bekal yang kuat. Ia juga punya dua mantra yang selalu menjadi mendorongnya” jawab wanita paruh baya itu.
”Mantra apa grand, persis seperti yang di film-film yah?” sang cucu tak habis-habisnya bertanya. Tokoh Alif rupanya menggugah rasa keingintahuannya.
”Sebenarnya bukan mantra seperti yang kamu bayangkan. Namun lebih tepatnya kalimat pengiingat, Man Shabara Zafira, siapa yang bersabar akan berutung” jawab wanita paruh baya sambil tertawa geli.
”Kamu masih ingat tips grandnie menghafal tanpa terasa susah?” tanya wanita paruh baya itu .
Sang cucu mengangguk dengan cepat sambil menjawab, ” kata papi waktu kecil kamarnya penuh dengan berbagai poster tentang angka, binatang , juga ada hafalan Huruf Mandarin grandnie. Kemana pun kita memandang, seluruh isi kamar penuh dengan hal-hal seperti itu. Karena sering melihat lama-lama papi jadi tahu banyak hal. Padahal papi belum bisa baca, karena sering diajak diskusi makanya jadi hafal. Biasanya setelah papi hafal, poster itu segera diganti dengan yang baru. Makanya aku juga diajari cara yang sama tulis apa yang mau dihafal tempel di tempat yang gampang dilihat sehingga kita sering melihat, lama-lama akan hafal”
Wanita paruh baya itu tersenyum simpul lalu berkata ,” Nah tokoh Alif juga memakai cara yang sama untuk menghafal rumus-rumus. Bayangkan untuk bisa belajar pelajaran SMA, Alif harus meminjam buku catatan dan buku cetak temannya. Ternyata dari anak pondok yang tidak banyak mendapat pelajaran umum, ia berhasil lulus dengan nilai 6,5 lumayan khan”
”Buku ini membawa dampak yang tidak sedikit bagi dunia pendidikan. Dahulu seorang anak akan dianggap sekolah jika memasuki sekolah menengah yang diselenggarakan pemerintah dan swasta. Sekolah kejuruan hanya dijadikan alternatif bagi mereka yang ingin segera bekerja dengan alasan ekonomi. Sementara mondok alias sekolah pesantren dianggap salah satu pemecahan amsalah bagi mereka yang ingin menyekolahkan anaknya namun tidak memiliki biaya sama sekali atau tempat para orang kaya menitipkan anak-anaknya yang terkena masalah. Melalui buku ini mereka bisa melihat seorang anak pondok bisa melalng buana ke tiga negara dengan beasiswa. Walau ada beberapa yang sudah terlanjur seram mendengar istilah pondok. contohnya papimu ” papar nya panjang lebar
Sang cucu yang semula serius membaca, mengangkat wajahnya dari buku denganpenuh tanda tanya. ”Maksud grandnie?” tanyanya
”Sebelum trilogi buku ini terbit, grandnie pernah berniat mengirim papimu bersekolah ke pondok, dimana pun itu” jawab wanita paruh baya itu.
”Hah? Papi grand?” sang cucu bertanya dengan heran
”Grandnie sadar pengetahuan agama grandnie tidak banyak. Sebagai orang tua tunggal waktu yang tersisi untuk memberikan pendidikan yang terbaik sangatlah sedikit. Apa lagi tipe papimu yang harus di awasi baru belajar. Makanya grandnie butuh sekolah yang bisa memberikannya pelajaran 1 X 24 dari sisi agama dan umum. Dan sepertinya pondok adalah tempat yang tepat” jawab wanita paruh baya itu
”Lalu papi mau?” sang cucu kian pensaran. Selama ini ia tidak pernah mndengar cerita soal ini.
” Mana papimu mau! Masalahnya papimu sudah terlanjur terpengaruh film-film dimana jika masuk pondok akan menderita, menderita ukuran papimu tepatnya
”Maksud grandnie?” sang cucu kian penasaran
” Papimu merasa dia harus mencuci pakaiannya sendiri di sungai, lalu pulang pergi membawa air untuk keperluan pondok. Persis seperti yang digambarkan di film. Padahal pondok yang sekarang sangat berbeda dengan yang dahulu. Seorang sahabatnya sejak sekolah dasar malah masuk pesantren khusus perempuan”
”Lalu grand?” sang cucu terus mendengarkan dengan serius
” Segala cara grandnie lakukan, dari rayuan, iming-iming hadiah, sampai ancaman. Bahkan grandnie membawanya saat ada launching trilogi buku ini supaya ia bisa mendengar langsung pengalaman dari A. Fuadi. Semuanya gagal total papimu malah menuduh grandnie sudah tidak sayang lagi dan mau membuang dirinya, maka ia akan ambil baju dan dengan suka rela menitipkan dirinya ke ruman yaitm piatu. Sok tahunya papimu. Butuh waktu yang lama untuk membuat papimu mengerti maksud grandnie” papar si wanita paruh baya, matanya terlihat menerawang mengingat-ingat kejadian di masa lalu.
Sang cucu hanya mengangguk-agukan kepalanya. Matanya tak lepas membaca kalimat-kalimat yang tercetak dalam buku itu.
” Lalu menurut grandnie aku harus sekolah kemana?” Sang cucu bertanya dengan tatapan memelas. Memilih sekolah ibarat menulis garis kehidupan baginya. Salah arah, berubahlah perjalan hidupnya dan ia tak mungkin memutar waktu yang sudah berlalu
"Kok tanya grandnie, kan bukan grandnie yang mau sekolah” sahut wanita paruh baya sambil tertawa kecil. ” Coba dengan kata hatimu, mau kemana?” lanjut wanita paruh baya itu.
”Itulah grand...., semakin dipikir semakin aku jadi pusing” keluh sang cucu.
Sang wanita paruh baya memandang wajah sayu cucunya dengan penuh kasih sayang. Sebetulnya wajar jika sang cucu masih belum mengambil keputusan. Diusia yang tergolong ABG, mengambil keputusan yang akan berhubungan dengan masa depan jelas sedikit menakut baginya.
“Kamu pasti sudah tahu, buat gradnie hidup adalah pilihan. Sejak tulisan grandnie di tolak di media saat kuliah dengan alasan tulisan itu belum zamannya, maka grandnie memutuskan banyak hal yang bisa ditempuh untuk tetap berada dalam dunia tulis menulis. Misalnya menjadi penulis bayangan untuk banyak hal. Itu sebabnya grandnie selalu melarangmu membuka lemari besi yang disana karena di dalam banyak hasil karya grandnie sebagai penulis bayangan. Kamu hanya perlu memantapkan pilihan, selaraskan hati, keinginan dan kemampuan, lalu pertimbangkan hal terburuk yang mungkin terjadi.” paparnya lagi.
Sesaat sang cucu hanya terdiam sambil membuka secara acak halaman Buku Rana 3 Warna. Mendadak wajahya terlihat ceria ditutupnya buku lalu dikempitnya . Ia bergegas berjalan menuju pintu keluar sambil berkata, ” Aku tahu kemana aku akan bersekolah. Terima kasih buat obrolannya grandnie, wo hen ai nin” Diberikannya pelukan sekilas sambil terseyum cerah.
"Tunggu!" seru wanita paruh baya itu mencegah cucunya keluar dari perpustakaan.
Sang cucu berbalik dan bertanya, " apa apa grand? bukunya tidak boleh aku bawa?"
"Bukan itu!" tugas wanita paruh baya sambil terseyum
"Buku itu untukmu. Coba kamu cari misteri angka tiga dalam buku itu, jika bisa, kamu akan dapat hadiah" tantangnya lgi
"Siap grand!" sahut sang cucu sambil bergegas pergi.
Sang wanita paruh baya mengawasi punggung cucu kesayangannya sambil terseyum. Urusan sekolah memang bisa membuat orang sakit kepala. Ia lalu menuju meja kerja yang ada di pojok perpustakaan dan duduk kursi empuknya. Tangannya membuka sebuah laci rahasia yang terletak di sisi bawah meja. Dikeluarkannya sebuah tumpukan yang tersusun rapi, berkas-berkas sekolah milik anak tunggalnya. Ada buku tulis pertama saat kelas satu sekolah dasar, raport, hasil ulangan dari yang bagus hingga yang membuatnya meringis, kartu ujian, ijasah hingga nilai saat kuliah. Entah bagaimana sikap sang cucu jika melihat ada nilai yang memalukan disana!
Setiap lembar ulangan mengandung cerita yang berbeda, tiap kartu ujian membawa harapan yang berbeda, setiap lembar nilai rapor menunjukkan perjuangan yang berbeda. Setiap bagian dari tumpukan yang ada di depannya membawa cerita yang berbeda. Wanita paruh baya itu tenggelam dalam kenangan mssa lalu.
”Pagi grandnie, ada pesan dari kantor Opa Sil . Beliau dalam perjalanan sebentar lagi sampai untuk menjemput grandnie. Hari ini ada jadwal ketemu dengan penerbit di luar kota. Transportasi sudah diatur untuk yang paling pagi, supaya sore nanti bisa bertemu dengan EO untuk perayaan ulang tahun Opung Boni” sebuah suara halus terdengar dari langit-langit. Asistennya baru saja mengirimkan pesan suara.
”Hah! Jam berapa sekarang? Aku belum tidur!”bathin wanita paruh baya itu sambil melirik jam yang ada di meja. Ia terkejut , ternyata sudah Subuh. Bergegas wanita paruh baya itu memasukan berkas-berkas sekolah anak tunggalnya dan tak lupa mengunci laci. Ia mengunci perpustakaan lalu berjalan dengan langkah mantap ke kamarnya. Ia mungkin tak sempat tidur, namun untuk urusan Sholat Subuh dan mandi, Sil harus bersedia menunggu. Sil boleh saja managenya, namun untuk hari ini dialah yang berkuasa. . Ia tahu kali ini Sholat Subuhnya akan sedikit lebih lama dari yang biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar