Penulis :Louisa May Alcott
Penerjemah :Mutia Dharma
Penyunting : Ida Wajdi
Pewajah Isi : Aniza
Halaman : 453
ISBN : 978-979-024-463-4
Penerbit : Atria
Januari 2011
Setelah mengenal para gadis yang paling dicintai dalam sastra Amerika, Meg, Jo,Amy dan Beth. Kita mengetahui kisah romantis mereka menuju gerbang pernikahan dalam Goodwives yang mengharu-biru. Maka dalam little man, kita akan melihat bagaimana Nona Jo March yang tomboi sekarang sudah menjadi Nyonya Jo Bhaer yang ceria. Bersama Profesor Bhaer suami terkasih, ia mengelola Sekolah Plumfield, sekolah khusus laki-laki . Awalnya Plumfield adalalah sebuah rumah tinggal yang diwarisinya dari sang Bibi March
Berada di Sekolah Plumfield sungguh menyenangkan! Di sana Bapak dan Ibu Bhaer menerapkan sistem pendidikan yang berbeda. Mereka boleh melakukan perang bantal di kamar seminggu sekali sebagai balasan bersikap baik dan sopan. Bahkan kadang Bu Bhaer juga ikut berperang.
"Anak-anakku tersayang, biarkan sajalah mereka mendapat satu hari, setiap Hari Sabtu malam di mana mereka bisa berteriak-teriak, menjerit-jerit, dan berbuat gila semau mereka. Liburan bukanlah liburan kalau tidak ada kebebasan dan keriangan. Mereka boleh bersenang-senang sepuasnya selama satu kali seminggu," begitu kata Bu Bhaer saat orang-orang keheranan melihat adegan perang bantal dan meluncur di pegangan tangga boleh dilakukan di Sekolah Plumfield
Sekolah itu merupakan sekolah yang paling sedikit memiliki peraturan, justru permainan yang banyak tersedia. Ada lebih dari 10 orang anak yang bersekolah disana. Mulanya hanya ada satu murid perempuan Daisy, saudara kembar Demi- anak Meg. Seiring waktu berlalu, sekolah menerima seorang anak perempuan lagi bernama Annie Harding, biasa dipanggil Nan. Nan merupakan seorang gadis tomboi yang mengingatkan Jo akan dirinya saat kecil dahulu. Pengecualian itu dilakukan untuk kepentingan semua pihak. Nan diharapkan bisa berubah menjadi anak perempuan yang lebih anggun. Sementara Daisy yang selama ini selalu formil dan lemah bisa menjadi anak perempuan yang lebih ceria dan mandiri.
Anak-anak yang bersekolah di sana antara lain Fanz berusia 16 tahun, Emil yang ingin menjadi pelaut, Rob yang penuh energi, Dolly si penggagap, Jack Ford yang cerdas dan lihai, Ned Barker dengan kaki yang panjang dan sikap berantakan, , George Cole yang harus diet masakan manis, Billy Ward si anak polos, Tommy bangs si pembuat onar, lalu si kembar Daisy dan Demi. Kemiripan nama seperti Nan dan Nat, buat saya yang kurang bisa menghafal nama nyaris membingungkan. Maklumlah daya ingat saya untuk nama tergolong rendah.Tapi secara keseluruhan, saya menikmati kelakuan ceria mereka. Ikut khawatir saat mereka berbuat nakal yang berlebihan.
Selain sistem pendidikan yang tidak biasa, penerapan disiplin juga tidak biasa. Pak Bhaer meminta dirinya dipukul, alih-alih menghukum anak yang ketahuan berbohong. Saat Nat salah seorang anak tertangkap berbohong, maka Pak Bhaer meminta Nat memukul dirinya dengan tongkat. Tentunya Nat tidak tega dan merasa bersalah, hal ini akan selalu d ikenangnya, akan menjadi pelajaran berharga bagi dirinya. Akibat kelakuan buruknya, orang lain yang menderita
Pak dan Bu Bhaer<span> juga mengajarkan kepada anak bahwa mereka bisa belajar apapun yang mereka ingin ketahui. Apapun yang ingin diketahuinya itu dapat ditemui di dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami sendiri.Mereka bisa belajar tumbuhan sambil berkebun, belajar kimia sambil bermain. Pak dan Bu Bhaer memakai rumah mereka dan seluruh lingkungan yang ada disekitar sebagai sarana untuk belajar.
Mereka boleh memiliki sepetak tanah untuk ditanami asal mau berbagi hasilnya dengan seluruh penghuni rumah. Beberapa anak memelihara hewan, hasilnya sering mereka jual ke Bu Bhaer untuk kebutuhan sekolah. Setiap anak diberikan ruang gerak yang seluasnya dalam pengawasan Pak dan Bu Bhaer.
Pak dan Bu Bhaer memiliki “ladang” yang mereka tanam dengan kasih sayang , berharap hasil panen yang menyenangkan. Mereka menanam budi pekerja, rasa tanggung jawab, kemandirian serta bagaimana bersikap pada seluruh murid yang ada tanpa membedakan apakah anak mereka sendiri, keluarga atau anak yang dikirim ke sana.
Perlahan-lahan mereka mengubah anak-anak menjadi seperti yang mereka harapkan, yaitu anak-anak yang memiliki kejujuran, keberanian, percaya pada Tuhan dan diri sendiri.
Buku ini juga mengisahkan bagaimana usaha keras Pak dan Bu Bhaer mengubah Dan. Setelah sekian lama hidup bebas, lupa bagaimana harus bersikap dan bertingkah laku. Ia tidak hanya bicara seenaknya, mengajarkan anak-anak yang lebih muda merokok, minum minuman keras bahkan berkelahi. Walau ia sudah bertekat untuk pergi pada akhirnya ia kembali pulang ke suasana hangat di Sekolah Plumfield dan membuktikan ia sudah berubah dan layak dipercaya. Kasih sayang yang diberikan Pak dan Bu Bhaer, dukungan teman-temannya serta ditambah keinginannya berubah membuat berkembang menjadi pribadi yang menyenangkan.
Kata-kata Bu Bhaer, "Kau anakku sekarang. Kalau kau mau, kau bisa membuatku bangga dan bahagia dengan mengatakannya" selalu diingatnya.Ia seakan menemukan bagian dirinya yang hilang.
Jika dipikir lebih lanjut,Pak dan Bu Bhaer sudah menerapkan konsep multiple intelligence, dimana setiap anak diajar sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing. Mereka tidak menyamakan setiap anak. Setiap anak dipandang sebagai individu yang berbeda dan unik, sehingga untuk memberikan pelajaran bagi setiap anak dibutuhkan cara yang unik. Konsep ini menyediakan kesempatan pada tiap anak untuk mengembangkan bakat emasnya sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Melelahkan mungkin, namun hasil yang diperleh akan maksimal.
Mengurus 1-2 orang anak saja sudah cukup menguras tenaga. Entah bagaimana caranya Pak dan Bu Bhaer mampu mengurus begitu banyak anak tanpa membedakan siapakah mereka,darimana asal-usulnya.<span> Dibutuhkan kreatifitas dan kepekaan untuk mengasah kemampuan anak</span>-anak itu. Terpenting, bagaimana yah cara mereka mengurus keuangan. Dengan sedemikian banyak anak dan hanya beberapa yang ikut membayar biaya hidup, tentunya beban hidup yang harus ditanggung Pak dan Bu Bhaer tidaklah sedikit. Salut untuk semangat Pak dan Bu Bhaer!
Seperti buku-buku terdahulunya, buku ini memberikan pesan moral yang mengagumkan. Kita bisa melihat kelembutan dalam mendidik anak tidak membuat anak menjadi lemah. Bagaimana hasil didikan Pak dan Bu Bhaer membuat Demi menjadi lebih tegar dan menjaga ibu dan adik kembarnya. Kasih sayang mampu meruntuhkan sifat ego dan sombong Dan. Banyak hal yang bisa ditemui dalam buku ini, cerita yang menghibur sekaligus mendidik.
Cerita ini sempat dijadikan acara televisi . Pertama kali disiarkan pada tanggal 7 November 1998. Acara itu juga ditayangkan di Kanada di CTV mulai 1 Januari 1999.. Karena peringkat rendah, acara ini dibatalkan setelah 2 musim, dengan episode terakhir ditayangkan pada tanggal 17 Desember 1999.
Kisahnya dimulai satu bulan setelah kematian suami Jo, Fritz Bhaer. Josephine Bhaer (Michelle Rene Thomas) harus mengambil alih seluruh tanggung jawab atas Sekolah Plumfield. Akibat kekurangan tenaga pengajar, Jo menerima
seorang guru baru, Nick Riley (Spencer Rochfort). Selain ada seorang guru baru yang juga bertindak sebagai pengurus sekolah, Franz (Robin Dunne), keponakan Jo, harus mengambil alih mengajar kelas remaja yang berisi Dan (Corey Sevier), Nat (Trevor Blumas), Emil (Alex Cambell), Nan (Brittney Irvin) dan Bess (Rachel Skarsten).
Louisa May Alcott lahir di Germantown, Philadephia, Pennsylavania, Amerika Serikat pada 29 November 1832 , meninggal di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, pada 6 Maret 1888. Walau louisa telah berpulang, karyanya tetap dbaca hingga saat ini. Karyanya terus diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan merupakan karya klasik yang tetap sesuai dengan zaman. Rumah tempat tinggalnya dahulu pun dijadikan museum yang menarik untuk dikunjungi.
Gambar-gambar dari:
http://en.wikipedia.org/wiki/Louisa_May_Alcott
http://www.lkwdpl.org/wihohio/alco-lou.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar