Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
ISBN: 9789793269986
Halaman: 452
Penerbit: Qanita, 2009
Terus terang yang menggoda saya untuk membaca buku ini adalah sepenggal kalimat yang saya temukan sewaktu membolak-balikan buku contoh, " Kasper menyalami si petugas pabean sambil menyelipkan lipatan uang satu dolar lagi. Benar-benar omong kosong kalau ada yang bilang kita tidak bisa memecayai orang Indonesia" Belum lagi, di cover belakang ada pernyataan dari William Colvy, Direktur CIA Divisi Asia Tenggara periode 1962-1967, ”Mungkin kami memang terlibat dalam peristiwa itu. Saya sudah lupa”
Buku ini bisa dibilang semacam catatan perjalanan bagi penulisnya, Peer Holm Jorgensen saat berusia belia, ia sudah melalang buana sebagai pelaut. Ia mengidentifikasi dirinya sebagai Kasper, seorang pemuda berkebangsaan Denmark berusia 19 tahun. Sosok Kasper digambarkan sebagai orang yang cinta petualangan. Ia bekerja sebagai asisten koki. Pada September 1965, Kasper mendarat di Tanjung Priok.
Dalam buku ini, situasi serta kondisi saat kejadian G-30-S PKI bercampur dengan romantika cinta segitiga antara Kasper, seorang gadis bernama Nadia- gadis blasteran Belanda-Padang, serta seorang pelaut bernama Thomas. Kondisi masyarakat saat itu menyebabkan munculnya rumah bordir, sementara kurir megirim dolar ke luar negeri serta anak-anak singkong yang mengharapkan dari upah para pelaut.
Saat Kasper sedang sibuk dengan urusan percintaannya. Di belahan bumi yang lain, berjarak 16.000 km, beberapa anggota CIA membahas situasi yang sedang berlangsung di negara kita tercinta. Kudeta yang dipimpin oleh Untung, Jenderal yang dibunuh dan dibuang dalam sebuah sumur, serta Suharto yang lolos karena mendengarkan perintah gurunya agar sebaiknya pergi berjalan-jalan ke pedesaan.
Kekaguman seorang CIA terhadap Presiden Sukarno jelas terlihat. Menurutnya, Presiden Sukarno adalah demokrat sekaligus penghasut. Situasi politik yang berlangsung saat itu menimbulkan pemikiran, bahwa di Indonesia, kematian banyak orang Indonesia lebih baik dari pada kematian banyak orang Amerika. Belum lama ramai dibicarakan mengenai sebuah buku yang menyebutkan bahwa Adam Malik adalah anggota CIA. Di buku ini, nama Adam Malik kembali disebut-sebut.
Kasper, suka atau tidak suka harus mengikuti situasi dan kondisi negara ini. Banyak hal yang membingungkan dirinya, namun ia terpaksa berdiam diri. Misalnya mengapa orang Indonesia melawan orang Indonesia, mengapa rakyat menerima perlakuan Sukarno dan tetap menghormatinya, walau sebagian besar warga negara Indonesia beragama muslim, namun lambang negara yang dipilih adalah Burung Garuda. Burung Garuda merupakan burung sekaligus manusia, merupakan salah satu dewa kuno.
Puncak keresahan hatinya adalah saat ia menemai Sophia, adik kandung temannya, dan menghadiri acara pesta dansa di Palembang. Semuanya tampak normal, sampai Kasper sadar bahwa dia berada pada waktu dan tempat yang salah. Mereka dicegat oleh beberapa orang bersenjata.
Keheningan malam dipecahkan oleh suara-suara tembakan senapan otomatis, ditambah dengan teriakan ketakutan dan kematian dari para gadis yang memenuhi udara malam. Kasper hanya bisa mematung tanpa mampu berkata-kata. Ternyata kabar burung itu benar, kebrutalan tak kenal ampun. Pembataian orang-orang yang dianggap komunis! Kasper telah melanggar hukum yang tidak dia ketahui keberadaannya. Hukum yang melarang upaya untuk menyelamatkan jiwa manusia lain. Para gadis menjadi anggota komunis muda hanya agar bisa berdansa dan berpesta. Tidak lebih!
Sepertinya banyak hal baru mengenai sejarah yang selama ini tidak terungkap ditemui dalam buku ini. Walau salah seorang pemerhati sejarah meyebutkan ada kesalahan fakta dalam buku ini. Namun Peer Holm Jorgensen menguraikan sejarah dari sudut pandang berbeda dengan yang selama ini saya dapat dari pelajaran sekolah mengenai G-30-S PKI. Semua diuraikan apa adanya, terserah pembaca mau menanggapi bagaimana.
Buku ini diterbitkan pada tahun 2007 dengan judul Den Glemte Massakre. Peer menulis novelnya berdasarkan pengalamannya selama dua tahun lebih berada di Indonesia, khususnya pada saat pecah peristiwa kelabu itu. Pada hari kejadian, dia mengaku tak tahu apa-apa. Dia dan beberapa reaknnya hanya tak melihat buruh yang biasa lalu lalang di pelabuhan, mereka melihat ”Kami hanya melihat tak ada buruh yang banyak tentara berkeliaran." Semula hal itu mereka anggap wajar.
Sejujurnya, saya merasa sang penulis lebih mengagumi serta mencitai negara ini dibandingkan saya. Lihat saja tulisannya yang menyatakan, ” Indonesia, orang-orangnya dan semangatnya menjadi orang Indonesia, membekas terlalu dalam dalam jiwa saya. Saya kira saya mengalami kejadian ini dari sudut yang berbeda. Saya masih membaui aroma-aromanya, mendengar suara-suara, getaran-getaran ketakutan tubuh saya, dan menyentuh tulang saya yang patah-kapan saja. Yang lebih penting lagi: saya mempunyai kenangan akan orang-orang hebat yang berasal dari bangsa yang hebat. Indonesia dan orang-orang Indonesia"
Semoga kaum muda yang membaca buku ini bisa lebih mencintai negara ini, seperti cinta Peer Holm Jorgensen. Mungkin dimulai dari hal kecil, seperti mengikuti upacara bendera dengan serius, serta bangga memakai produk buatan dalam negeri.
Note: Sempat ngerumpi sama Peer beberapa waktu yang lalu, Senang juga dia masih simpan bookmark wayang hadiahku. Jadi inget peserta bedah buku, Orang Indonesia pula, yang malah tanya ”Beli itu dimana Peer?” Gubrak...................!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar