Judul: Eight Cousins
Penulis: Louisa May Alcott
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
ISBN: 978602885137-4
Halaman: 384
Penerbit: Orange Books, Februari 2011
"Aku baru tahu kalau anak laki-laki bisa bersenang-senang. Permainan mereka tidak pernah terlihat menarik di mataku. Namun itu mungkin karena kau tak pernah mengenal dekat seorang pun anak laki-laki, atau mungkin karena kalian memang baik hati, berbeda dengan yang lainnya." kata Rose dengan nada memuji yang membuat semua orang sangat bangga.
Seperti kisah Louisa yang lain, kisah ini juga menceritakan bagaimana kehidupan sebuah keluarga bahagia. Tokohnya kali ini adalah Rose Campbell. Rose berusia 13 tahun dan baru saja menjadi yatim piatu.
Saat ia dikirim ke rumah walinya kondisinya sangat lemah, ia cenderung sakit-sakitan. Sambil menunggu walinya yang di panggil Paman Alec kembali dari luar negeri, Rose tingal bersama para bibi yang sekuat tenaga berusaha menghiburnya.
Usaha keras para bibi sepertinya tidak menghasilkan apa-apa. Rose tetap menjadi anak yang pemurung, lemah dan berpipi pucat hingga sang wali tiba. Dalam asuhan Paman Alec, Rose menemukan banyak hal yang menarik serta mendapat banyak pengalaman. Misalnya saja saat paman Alec menyuruhnya membuka korset yang dianggap akan mengganggu pertumbuhannya.
Selama ini Rose diharapkan bertingkah sebagaimana layaknya gadis anggun tak perduli berapa usianya. Dia diharuskan menggenakan korset ketat hingga menyesakan dada serta memakai pakaian bereda-renda yang cantik dipandang namun menghalanginya bergerak bebas. Dengan melepas korset dan menggantinya dengan aneka macam sabuk yang menawan badan Rose bisa berkembang dengan maksimal.
Paman Alec dengan caranya sendiri mengubah Rose yang sakit-sakitan, lemah dan tak bergairah menjadi ceria, bersemangat, suka menolang sesama serta rendah hati. Pipinya mulai terlihat berwarna merah sehingga wajahnya terlihat lebih menyenangkan.
Bagi Paman Alec hanya ada tiga obat terhebatnya, banyak sinar matahari, udara segar dan air dingin. Tak ketinggalan lingkungan ceria dan beberapa kegiatan. Dengan keluarga besar yang saling mengasihi, dijamin Rose selalu berada dalam lingkungan ceria serta tidak akan kekurangan kegiatan
Sikap baik hati dan rendah diri yang dimiiki sang paman menular pada Rose. ia begitu bersemangat untuk berbuat baik dengan cara mendermakan sebagian miliknya. Saking berniatnya untuk bersikap dermawan, ia mengadopsi Phebe, pembantu rumah tangga muda bibinya. Melalui Phebe yang selalu ceria, Rose lebih bisa menghargai keberuntungannya dibandingkan nasib Phebe. Rose juga berbagi dengan gembira.
Sekilas, melihat kovernya saya mengira isi buku ini tidak berbeda jauh dengan saudaranya, yang berkisah mengenai kehidupan di sebuah sekolah alternatif. Mengingat kedua buku ini sama-sama mengulas seorang anak gadis yang hidup diantara banyak anak-laki-laki.
Namun ternyata kisahnya berbeda jauh. Setiap bab berkisah mengenai perkembangan kehidupan Rose. Ia belajar berbagai macam pengetahuan dengan cara yang unik. Rose juga harus belajar bagaimana tata krama pergaulan, mengingat ia merupakan ahli waris keluarganya kelak.
Rose memang diharapkan akan tampil menjadi ahli waris keluarga. Namun Paman Alec juga ingin agar Rose juga bisa berperan ganda sebagai istri dan ibu. Untuk itu Paman Alec memberikan pelajaran keuangan hingga Rose bisa mengurus keuangan keluarganya sendiri.
Paman Alec juga memberikan pelajaran fisiologi agar Rose lebih bisa menjaga kesehatannya sendiri, kelak menjaga kesehatan keluarganya. Sedangkan untuk pelajaran bagaimana mengurus rumah tangga, Rose belajar dari ahlinya, Bibi Plenty, untuk pelajaran menjahit, sang pakar Bibi Plen yang akan menjadi guru Rose. Dengan semua guru terbaik di dunia, Rose kian semangat dalam belajar, plus didorong keinginan tulus membuat pamannya bahagia.
Selain Paman Alec, Rose juga berurusan dengan delapan orang sepupu laki-laki..Awalnya bagi Rose ini merupakan hal yang menakutkan. Laki-laki yang ia kenal hanya ayah dan beberapa paman, sekarang ia harus berhadapan dengan anak laki-laki yang sifatnya bermacam-macam.
Seiring waktu yang berlalu , melewati berbagai kejadian Rose sudah mulai bisa mendekatkan diri dan menjadi bagian dari mereka. Rose seakan menjadi anak kesembilan
Selesai membaca buku ini, saya merasa mendapat banyak tambahan pengetahuan bagaimana cara mendidik anak, terutama anak perempuan tanpa merasa di gurui. Sepertinya dalam banyak buku-bukunya, Louisa membagikan mimpinya mengenai bagaimana cara mendidik anak.
Lewat Little Man ia mengajak kita membuat sekolah alternatif, sebuah sekolah alam. Dimana proses belajar dan mengajar bisa dilakukan dimana saja. Sementara dalam buku ini, kita diajak untuk memberikan keseimbangan pendidikan bagi seorang anak perempuan. Pengetahuan umum dan rumah tangga.
Serta menghimbau kita untuk membiarkan anak-anak tetap menjadi anak-anak dengan menikmati masa mudanya tanpa dibebani dengan urusan orang dewasa atau berlaku layaknya orang dewasa.
Terpenting, membiarkan seorang gadis melakukan sesuatu yang juga dilakukan kaum pria asal mengerti batasannya. Kita tentu saja juga akan diberikan gambaran bagaimana kehidupan di saat itu.
Terpenting, Paman Alec mampu membuat Rose melakukan segala hal yang selama ini tidak pernah dilakukannya bahkan dibencinya atas kemaunnya sendiri. Rose mau melakukannya berbagai hal serta mencoba hal baru demi menyenangkan hati Paman Alec.
Paman Alec mampu membuat Rose mau minum susu alih-alih kopi setiap pagi, mau belajar bagaimana mengemudikan perahu kecil dan lainnya. Rose melakukannya tanpa paksaan dan dengan perasaan gembira
Delapan sepupu Rose memiliki kepribadian yang hangat. Tokoh favorit saya dari kedelapan sepupu Rose adalah Alexander Mackenzie alias Mac Si anak sulung Mac dan Jane. Mac merupakan seorang kutu buku, itu sebabnya ia kurang menyukai kegiatan fisik. Diantara yang lain Mac dianggap sebagai yang paling bijaksana dan serta terpelajar. Usianya sekitar lima belas tahun.
Mac mendapat pelajaran berharga saat matanya mengalami kelelahan akibat kesukaannya membaca yang tak mengenal tempat dan waktu. Saat ia menderita, Rose menghiburnya dengan penuh perhatian.
Sejak ia mengerti bagaimana cara kerja mata dan mengalami gangguan pada mata, sikapnya dalam membaca berubah. Ia memilih tempat dan waktu yang tepat untuk membaca, tidak asal saja seperti dahulu. Sindiran buat saya sepertinya ^_^
Seperti buku-buku Louisa lainnya, kata-kata bijak juga bertebaran dalam buku ini. Coba simak kalimat berikuit, " Kecintaan terhadap uang adalah kutukan Amerika dan demi uang, manusia rela menjual kehormatan dan kejujurannya, sehingga kita tidak mengetahui lagi siapa yang bisa kita percayai, dan hanya seorang genius seperti Agassiz yang berani berkata,"Aku tidak bisa menyia-nyiakan waktuku untuk memperkaya diri" Kalimat ini mengingatkan kita untuk tidak mendewakan uang jika tidak ingin kehilangan harga diri.
Atau kalimat berikut, " ...karena jika anak perempuan berhasil melepaskan pernak-pernik kecantikan mereka dan anak lelaki meninggalkan kenakalan kecil mereka, dan masing-masing saling mendukung, semuanya akan baik-baik saja."
Berarti sang anak sudah beranjak dewasa, hingga bisa memahami mana yang harus dilakukan, mana yang harus dihindari. Mereka juga sudah bisa bersosialisasi dengan baik.
Buku ini saya baca sambil mengikuti acara Hunting Akbar sebuah klub fotografi dari almamater saya di Perbanas. Suasana udara yang sejuk dan gemerik air terjun membuat saya kian meresapi suasana pengunungan dimana Rose dan Mac sempat tinggal selama sebulan.
Awalnya beberapa kesalahan kalimat seperti memukai di halaman 71, Adalah di halaman 88 sempat tidak saya perhatikan, maklum yang penting buat saya adalah kisahnya. Saat seorang sahabat meminjam dan membacanya sambil lalu menemukan kesalahan itu , baru saya sadar.
Yah... memang tidak ada yang sempurna. Tapi buku ini sungguh menginspirasi pembacanya bagaimana mendidik anak, terutama anak perempuan sehingga menjadi anak yang bisa dibanggakan. Tak sabar menunggu lanjutannya, kisah saat Rose menjadi dewasa. *merapal doa supaya dapat buntelan lagi*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar