Judul asli: Orang-orang biasa
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Dhewiberta Hardjono
ISBN: 9786022915249
Halaman: 300
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Bentang Pustaka
Harga: Rp 89.000
Rating: 3/5
"Kurasa kau adalah satu-satunya murid di dunia ini yang pernah tak naik kelas, banyak nilai merah di rapor, yang berani bercita-cita jadi dokter, Aini."
~Orang-orang biasa, hal 59~
Awal informasi terbitnya buku ini sempat membuat saya penasaran. Saya memang jatuh cinta pada Laskar Pelangi, buku pertama karangan penulis yang saya baca. Namun belakangan, saya mulai kurang puas dengan beberapa karya beliau. Menimbang banyaknya timbunan yang harus dibabat, maka saya memutuskan untuk tidak mengikuti pemesanan awal buku ini.
~Orang-orang biasa, hal 59~
Awal informasi terbitnya buku ini sempat membuat saya penasaran. Saya memang jatuh cinta pada Laskar Pelangi, buku pertama karangan penulis yang saya baca. Namun belakangan, saya mulai kurang puas dengan beberapa karya beliau. Menimbang banyaknya timbunan yang harus dibabat, maka saya memutuskan untuk tidak mengikuti pemesanan awal buku ini.
Entah kenapa, buku ini terbeli juga. Kadang sebuah buku
berjodoh dengan cara yang unik. Ketika mengantar seseorang ke toko buku favorit
G, maka masuklah buku ini dalam
keranjang belanjaan saya. Baiklah, karena sudah dibeli mari kita baca.
Membuka halaman pertama, nuansa tema pendidikan sudah terasa.
Penulis bahkan menuliskan kalimat, “Kupersembahkan kepada Putri Belianti anak
miskin yang cerdas, dan kegagalan yang getir masuk Fakultas Kedokteran,
Universitas Bengkulu. " Apakah sudah bisa meraba arah kisahnya?
Para tokoh dalam buku ini lumayan banyak. Ada sepuluh sahabat yang bersatu karena selalu menduduki bangku belakang di kelas. Ada Dinah, Debut Awaludin, Salud, Junilah, Sobri, Honorun, Handai Tolani, Tohirin, Rusip dan Nihe.
Lalu muncul Boron, Bandar, Bastardin, Jamin dan Tarib sebagai pihak yang bisa dikatakan jahat. Terbayangkan dengan begitu banyak tokoh, pembaca harus menghafalkan banyak nama agar tidak tertukar.
Para tokoh digambarkan memiliki karaker yang unik. Sepanjang kisah, penulis sukses membuat karakter konsisten. Contohnya sosok Debut Awaludin yang membuka kios buku guna menyambung hidup. Ia tetap berjualan buku di negeri yang konon penduduknya tidak suka membaca hingga menempati peringkat kedua dari bawah. Sungguh perbuatan hebat, hiroik istilah penulis.
Atau kembar beda ibu-bapak, Nihe dan Juninah. Mereka dengan santainya bekerja di perusahaan milik Rusip. Begitu saja masuk bekerja dan setiap dua minggu meminta bayaran. Mereka sering melakukan swafoto hingga mengganggu pelanggan. Di mana pun, kapan pun ada kesempatan mereka pasti melakukan ritual swafoto.
Kisah dimulai ketika para tokoh beranjak dewasa, dan memiliki anak. Salah satunya sangat ingin menjadi dokter meski nilainya pas saja, jika tidak layak disebut kurang. Entah korslet kenapa dia, sudah nilai kurang, kehidupannya minim masih juga punya cita-cita yang jauh dari jangkauan.
Namun, begitulah hidup. Setiap orang harus memiliki cita-cita agar memiliki tujuan hidup. Sementara sang ibu, Dinah, tentunya akan melakukan apa saja demi cita-cita sang anak. Apa lagi ia mempunya sembilan orang kawan yang siap membantu meski dengan cara yang tak wajar.
"Nah sidang pembaca nan budiman, dari sinilah sesungguhnya kisah dimulai." Demikian yang tertera pada halaman 79.
Beberapa kisah pada awalnya seakan tidak berhubungan. Penulis banyak memberikan kisah pengantar, nyaris seperempat isi buku, kemudian pada akhirnya menggabungkannya menjadi mozaik yang menarik. Tanpa sadar saya berguman, ini gunanya diceritakan dibagian awal.
Membaca buku ini, saya jadi agak ragu. Apakah memang seluruh gerombolan bangku belakang memiliki otak yang kurang alias bodoh, atau hanya beberapa saja yang bodoh. Yang lain terlalu pandai hingga mampu beraksi layaknya orang bodoh.
Para tokoh digambarkan memiliki karaker yang unik. Sepanjang kisah, penulis sukses membuat karakter konsisten. Contohnya sosok Debut Awaludin yang membuka kios buku guna menyambung hidup. Ia tetap berjualan buku di negeri yang konon penduduknya tidak suka membaca hingga menempati peringkat kedua dari bawah. Sungguh perbuatan hebat, hiroik istilah penulis.
Atau kembar beda ibu-bapak, Nihe dan Juninah. Mereka dengan santainya bekerja di perusahaan milik Rusip. Begitu saja masuk bekerja dan setiap dua minggu meminta bayaran. Mereka sering melakukan swafoto hingga mengganggu pelanggan. Di mana pun, kapan pun ada kesempatan mereka pasti melakukan ritual swafoto.
Kisah dimulai ketika para tokoh beranjak dewasa, dan memiliki anak. Salah satunya sangat ingin menjadi dokter meski nilainya pas saja, jika tidak layak disebut kurang. Entah korslet kenapa dia, sudah nilai kurang, kehidupannya minim masih juga punya cita-cita yang jauh dari jangkauan.
Namun, begitulah hidup. Setiap orang harus memiliki cita-cita agar memiliki tujuan hidup. Sementara sang ibu, Dinah, tentunya akan melakukan apa saja demi cita-cita sang anak. Apa lagi ia mempunya sembilan orang kawan yang siap membantu meski dengan cara yang tak wajar.
Penampakan di Toko Buku Gramedia Depok Beberapa Waktu Lalu |
"Nah sidang pembaca nan budiman, dari sinilah sesungguhnya kisah dimulai." Demikian yang tertera pada halaman 79.
Beberapa kisah pada awalnya seakan tidak berhubungan. Penulis banyak memberikan kisah pengantar, nyaris seperempat isi buku, kemudian pada akhirnya menggabungkannya menjadi mozaik yang menarik. Tanpa sadar saya berguman, ini gunanya diceritakan dibagian awal.
Membaca buku ini, saya jadi agak ragu. Apakah memang seluruh gerombolan bangku belakang memiliki otak yang kurang alias bodoh, atau hanya beberapa saja yang bodoh. Yang lain terlalu pandai hingga mampu beraksi layaknya orang bodoh.
Kekompakan mereka, niat baik untuk membantu mencari biaya sekolah salah satu sahabat, diracik dengan bumbu kekonyolan membuat kisah ini menjadi ringan untuk dibaca dan pastinya banyak membuat saya tertawa. Seakan melihat orang yang tak bisa memasak namun bergaya mampu membuka restoran yang bakalan ramai dikunjungi pembeli. Gimana ceritanya coba?
Oh ya, selain kisah tentang upaya mencari dana bagi kuliah anak sahabat, ternyata masih ada kisah tambahan yang mewarnai buku ini. Termasuk kisah anak yang tidak lulus tes namun karena jabatan sang bapak ia bisa saja dapat perlakuan istimewa. Sayangnya sang bapak menolak mempergunakan jabatannya demi sekolah sang anak.
Oh ya, selain kisah tentang upaya mencari dana bagi kuliah anak sahabat, ternyata masih ada kisah tambahan yang mewarnai buku ini. Termasuk kisah anak yang tidak lulus tes namun karena jabatan sang bapak ia bisa saja dapat perlakuan istimewa. Sayangnya sang bapak menolak mempergunakan jabatannya demi sekolah sang anak.
Ironi bukan? Ada anak yang pandai namun sistem tak bisa membantunya. ada yang biasa saja namun terbantu karena faktor dana. Memang tidak semua, tapi kisah dalam buku ini mengangkat tentang pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan. Seakan penulis ingin menyindir sistem pendidikan d negara kita.
Berbagai ungkapan khas Andrea Hirata juga ditemui dalam buku ini. Misalnya yang ada di halaman 20, "Sesungguhnya selalu ada lelaki dalam setiap lelaki. Lelaki dalam diri Bastardin dan Boron adalah lelaki jahat. Lelaki dalam diri Salud adalah lelaki lembut yang baik hati." Mak jleb kan ^_^.
Saya agak penasaran dengan kalimat berikut, "Sebab, Inspektur berkacamata gaya pustakawan dan berwajah jenaka." Tertera demikian pada halaman 12. Terbayang wajah beberapa kawan pustawan yang menggunakan kacamata. Wajahnya biasa saja, beberapa malah terlihat trendi. Lalu kenapa sampai harus disebutkan secara spesifik dalam buku ini ya?
Secara garis besar, buku ini layak dibaca oleh segala golongan usia. Para anak sekolah bisa paham bahwa cita-cita saja tak berguna, harus ada usaha dan upaya untuk meraihnya.Dukungan orang tua dan sekitar sangatlah perlu.
Mereka yang gagal meraih sekolah idaman bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Bahwa kadang, yang kita inginkan bukanlah yang terbaik untuk kita. Masih banyak cara untuk meraih impian. Masih banyak jalur dn lembaga pendidikan yang bisa dipilih.
Para guru juga jadi lebih bersabar dalam mendidik, karena setiap murid merupakan pribadi yang unik. Mereka tak bisa dberikan pengajaran dengan cara yang sama, kadang ada hal berbeda yang harus ditempuh. Tak ada yang sia-sia, suatu saat upaya mengajar akan memberikan hasil positif.
Berbeda dengan buku yang lain, pada halaman belakang pembaca tidak akan menemukan blurd kisah, yang ada justru uraian mengenai kisah Laskar Pelangi. Aneh, lalu bagaimana calon pembeli bisa mengetahui kisah apa yang ditawarkan oleh buku ini?
Tidak itu saja, pada bagian akhir buku, diberikan informasi mengenai berbagai versi bahasa Laskar Pelangi.Semacam katalog buku nasional dan internasional karya Andrea Hirata. Guna memuaskan rasa penasaran pembaca, kurang lebih begitu yang saya tangkap pada kata pengantar. Silakan berpromosi, tapijangan abaikan promosi isi buku ini juga. Laskar Pelangi memang andalan, jangan abaikan buku ini.
Dibandingkan dengan buku sebelumnya, saya makin merasa kurang gregetnya seorang Andrea Hirata dalam meracik kata. Seakan sekedar menuntaskan karya. Jiwa kisah ini kurang terasa, seakan menguap dengan kewajiban menyampakan kisah tentang anak yang batal kuliah kedokteran.
Meski demikian, seperti yang saya sebut di atas, kekonyolan pada tokoh lumayan untuk tertawa.
Secara garis besar, buku ini layak dibaca oleh segala golongan usia. Para anak sekolah bisa paham bahwa cita-cita saja tak berguna, harus ada usaha dan upaya untuk meraihnya.Dukungan orang tua dan sekitar sangatlah perlu.
Mereka yang gagal meraih sekolah idaman bisa mengambil hikmah dari kisah ini. Bahwa kadang, yang kita inginkan bukanlah yang terbaik untuk kita. Masih banyak cara untuk meraih impian. Masih banyak jalur dn lembaga pendidikan yang bisa dipilih.
Para guru juga jadi lebih bersabar dalam mendidik, karena setiap murid merupakan pribadi yang unik. Mereka tak bisa dberikan pengajaran dengan cara yang sama, kadang ada hal berbeda yang harus ditempuh. Tak ada yang sia-sia, suatu saat upaya mengajar akan memberikan hasil positif.
Berbeda dengan buku yang lain, pada halaman belakang pembaca tidak akan menemukan blurd kisah, yang ada justru uraian mengenai kisah Laskar Pelangi. Aneh, lalu bagaimana calon pembeli bisa mengetahui kisah apa yang ditawarkan oleh buku ini?
Tidak itu saja, pada bagian akhir buku, diberikan informasi mengenai berbagai versi bahasa Laskar Pelangi.Semacam katalog buku nasional dan internasional karya Andrea Hirata. Guna memuaskan rasa penasaran pembaca, kurang lebih begitu yang saya tangkap pada kata pengantar. Silakan berpromosi, tapijangan abaikan promosi isi buku ini juga. Laskar Pelangi memang andalan, jangan abaikan buku ini.
Dibandingkan dengan buku sebelumnya, saya makin merasa kurang gregetnya seorang Andrea Hirata dalam meracik kata. Seakan sekedar menuntaskan karya. Jiwa kisah ini kurang terasa, seakan menguap dengan kewajiban menyampakan kisah tentang anak yang batal kuliah kedokteran.
Meski demikian, seperti yang saya sebut di atas, kekonyolan pada tokoh lumayan untuk tertawa.