Penulis : Agus Andoko
Editor: Misni Parjianti
Ilustrator: Wilfried Harry Krismasto
ISBN: 9786022550244
Halaman: 608
Penerbit : DIVA Press
Harga : Rp. 68000
Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglat jagat
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang lawan pangan
Yaiku bageanipun
Wong melek sabar narima
Buku yang saya terima memiliki halaman lebih. Ada selembar kertas yang memuat halaman435 dan 436 setelah halaman 436, sepertinya terjadi kelebihan cetak halaman. Hal kecil yang sempat membuat saya bingung.
Secara keseluruhan, buku ini layak dikoleksi. Keberanian penulis untuk membuat sebuah kisah yang berbeda, memadukan unsur moderen dengan wayang sungguh patut diacungi jempol. Selama saya mengenal penerbit ini, baru buku ini yang saya sukai. Tak heran Dalang Setan Ki H Manteb Soedharsono memberikan endorsnya. Muantep tenan jie....!
Dear Dion
Buat buku yang ini, ak menyukainya
THX
Editor: Misni Parjianti
Ilustrator: Wilfried Harry Krismasto
ISBN: 9786022550244
Halaman: 608
Penerbit : DIVA Press
Harga : Rp. 68000
Aja turu sore kaki
Ana dewa nganglat jagat
Nyangking bokor kencanane
Isine donga tetulak
Sandhang lawan pangan
Yaiku bageanipun
Wong melek sabar narima
Empat orang remaja; Putriaji Dyah Kusumayu Larasati (Laras), Maskumambang Setiaji Priyambodo (Mambang), Raditya Putra Aninditya (Radit) serta Sembara Kelana Mahardika(Bara), merupakan anak Jakarta yang patut diacungi jempol karena memiliki hobi yang nyeleneh bagi remaja seusianya, menggemari wayang. Mereka sepakat membentuk geng bernama Sarotama. Sarotama merupakan senjata milik Arjuna.
Setiap anak memiliki favoritnya masing-masing. Laras misalnya, sangat menyukai Sinta. Sehingga saat mendengar bahwa wayang bukanlan kisah rekaan atau imajinasi serta adanya sebuah jalan yang mampu membawa mereka ke dunia wayang, maka Laras merupakan sosok yang paling antusias membuktikan kebenarannya. Jika terbukti benar, ia ingin mengubah kisah Ramayana dengan cara memperingatkan Sinta agar berhati-hati hingga tidak diculik Rahwana.
Kabarnya jalan yang dimaksud berada di sebuah desa kecil di Klaten, Jawa
Tengah. Seorang dalang bernama Eyang Gondobayu konon merupakan sosok yang mengetahui keberadaan jalan tersebut. Kebetulan sekali rumah sang dalang berseleblahan dengan rumah kerabat Laras, maka mereka menyusun sebuah rencana untuk membuktikan kebenaran berita tersebut,
Menilik sinopsis di belakang buku yang menyebutkan, "Mereka berempat tiba-tiba hadir di Bumi Ayodya...." Maka bisa disimpulkan mereka menemukan jalan rahasia tersebut. Namun dimanakah jalan tersebut sebenarnya berada, kenapa tidak ada yang mengetahuinya, serta berhasilkan mereka melaksanakan misi menyelamatkan Sinta? Silahkan ikuti kisah petualangan yang menawan ini
Kisah wayang dalam buku ini mengalami modifikasi, hal ini bisa diterima mengingat keinginan Laras menyelamatkan Sinta mengakibatkan perubahan sejarah. Alih-alih Sinta yang diculik, justru Laras yang diculik. Kisah Hanoman obong yang membuat seluruh kota terbakar tidak ada, Burung Jayatu juga tidak mati dan sayapnya dipotong, lalu yang menjadi duta rama untuk perdamaian adalah Anggada, anak dari Resi Subali. Serta beberapa kejutan yang tak terduga perihal siapakah sebenarnya Sinta.
Pembaca akan diajak menikmati aneka panganan tradisional khas Jawa serta adat istiadat. Ada klenyem, terbuat dari parutan singkong yang diisi gula kelapa lalu di goreng. Lalu pengetahuan seputar susunan rumah seperti gadri, sentong dan lainnya. Tak perlu kuatir, guna memudahkan pembaca memahami penulis sudah memberikan penjelasan atau terjemahan dalam Bahasa Indonesia di catatan kaki. Beberapa bagian malah langsung diterangkan setelah kata tersebut. Bagi mereka yang lahir dan hidup di kota besar seperti Jakarta, buku ini bisa dijadikan referensi.
Kisah saat pemberian selamat pada pengantin, disebutkan sebagai tanda kehadiran tamu, gamelan berubah menjadi Kebogiro dari Srinalendro. Saat menghadiri upacara penikahan, sering kali terdengar suara gamelan. Namun bisa dipastikan, tak banyak anak muda apa lagi yang lahir dan besar di Jakarta walau berdarah Jawa, mengetahui apa yang sedang dimainkan oleh para penabuh gamelan. Bagi yang ingin mendengarkan Kebogiro bisa mengunjungi http://www.youtube.com/watch?v=mksZVbyhQDQ
Dikisahkan juga tentang berbagai tokoh wayang berupa para dewa, serta bidadari yang turun ke bumi menghadiri perhelatan akbar di Ayodya. Kita bisa menemukan sosok tujuh bidadri dalam kisah Jaka Tarub yang menari, Hyang Baruna sang penguasa air dan samudra, Hyang Yamadipati sang penyabut nyawa dan masih banyak lagi. Pembaca secara tak langsung diberikan pengetahuan singkat mengenai para tokoh wayang.
Ilustrasi dalam buku ini sungguh menawan apalagi dibuat sebesar satu halaman penuh. Namun sayang, beberapa penempatan yang tidak pas membuat kenikmatan berkurang.Contohnya ilustrasi tentang Bara yang diserang oleh makhluk air berada di halaman 112, namun uraian kisahnya berada jauh di halaman 125-126. Jika alasannya keterbatasan halaman, kenapa tidak dibuat di halaman 124 jadi sebelum uraian peristiwa.
Dari awal kisah kita hanya dikenalkan dengan empat anak penggemar wayang. Tidak disebutkan hubungan diantara mereka. Sebuah kalimat di halaman 23 membuat saya sedikit bingung. "Benar Dit. Eyang Gondobayu itu tetangga kakek kami," jawab Mambang. Sebaiknya sejak awal sudah disebutkan bahwa Laras dan Mambang bersaudara.
Tingkah mereka juga seakan tidak sesuai dengan usia belianya. Paling tua yaitu Bara baru kelas dua SMU, namun dalam buku ini digambarkan sudah dewasa. Apakah penulisnya menyesuaikan dengan kondisi saat itu, dimana anak berusia empat belas tahun sudah layak dikawinkan. Belum lagi keahlian yang mereka peroleh sepertinya bisa dicapai dengan mudah. Keempat anak tersebut sama sekali tidak memiliki ilmu kanuragan, keahlian memanah mereka diperoleh dari pelatihan singkat saat menumpang disalah satu rumah penduduk. Tanpa dasar yang kuat, walau dilatih oleh Rama sekalian seperti terlalu mustahil jika mereka menjelma menjadi satria tangguh. Dalam kisah silat saja disebutkan seorang satria butuh sekian lama untuk menjadi terampil, apa lagi mereka yang tidak bisa apa-apa. Penulis seakan memaksakan mereka menjadi sosok yang hebat.
Beberapa kata juga sepertinya tertukar atau terbuang tanpa sengaja. Misalnya pada halaman 278 pada baris ke lima hanya ditulis Sang, sepertinya kata yang benar adalah Sang Petapa jika merujuk pada inti pembicaraan yang sedang berlangsung. Lalu di bagian yang lain tertulis,"Tepat," kata Sinta. Bukannya yang tepat adalah kata Lasar? Saat itu sedang terjadi pembicaraan serius antara Laras, Mambang, Bara dan Radit tentang kisah Ramayana sehingga tak mungkin ada Sinta dalam pembicaraan tersebut
Membaca kisah mereka saya teringat drama kolosal BK di salah satu stasiun televisi. Belakangan juga ada kisah sejenis. Yang menarik perhatian saya adalah kostum dan peralatan makan. Tadi saya sengaja menonton salah satu kisah hingga tamat, sesuatu yang sangat jarang saya lakukan. Beberapa hal mengusik saya. Soal alat makan misalnya. Mungkin saya yang salah, tapi saat itu urusan sendok garpu belum dikenal. Penduduk masih menggunakan daun pisang dan sejenisnya sebagai alat untuk menyendok. Lalu kenapa ada penggunaan sendok dan garpu kayu dalam kisah ini? Penalaran saya bisa saja salah, tapi setting waktu saat itu sepertinya masih jauh dari mengenal sendok-garpu.
Banyak pesan moral yang disisipkan oleh penulis, selain pesan moral melalui kisah wayang. Beberapa kali diceritakan keempat anak tersebut terkejut melihat ada ular Puspakajang, ular pemburu tikus baik di rumah maupun di sawah. Keberadaan ular tersebut tidak dianggap membahayakan bagi penduduk setempat karena mampu mengatasi hama tikus. Tidak ada ular yang diburu karena menyerang manusia saat itu. Seandainya keberadaan mereka tetap dijaga mungkin kita tidak usah pusing memikirkan sawah yang habis diserang tikus. Kisah ular yang menyerang orang di sawah juga tidak akan kita dengar. Ular akan menyerang jika merasa terancam. Pesan moral yang disampaikan sangat jelas, keseimbangan kehidupan harus tetap dijaga karena setiap makhluk memainkan peranannya masing-masing.
Keberadaan raksaksa wanita, Nyi Drembo yang hidup berdampingan dengan aman memberikan isyarat bahwa perbedaan bukan untuk dipermasalahkan tapi dijadikan sebagai warna dalam kehidupan ini. Lebih baik saling membahu dari pada mempermasalahkan perbedaan.
Saat akan terjadi perang, muncul Aurora di langit Alengka. Aurora adalah fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya). (http://id.wikipedia.org/wiki/Aurora). Masyarakat kita sering mengaitkan fenomena alam dengan sebuah kejadian. Dengan munculnya Aurora, mereka menganggap akan terjadi bencana serius. Hal ini serupa dengan kebiasaan mereka saat bercocok tanam, mengandalkan rasi bintang.
Buku yang saya terima memiliki halaman lebih. Ada selembar kertas yang memuat halaman435 dan 436 setelah halaman 436, sepertinya terjadi kelebihan cetak halaman. Hal kecil yang sempat membuat saya bingung.
Secara keseluruhan, buku ini layak dikoleksi. Keberanian penulis untuk membuat sebuah kisah yang berbeda, memadukan unsur moderen dengan wayang sungguh patut diacungi jempol. Selama saya mengenal penerbit ini, baru buku ini yang saya sukai. Tak heran Dalang Setan Ki H Manteb Soedharsono memberikan endorsnya. Muantep tenan jie....!
Dear Dion
Buat buku yang ini, ak menyukainya
THX