Jumat, 08 Agustus 2014

Review 2014 #43: Kenal Wayang Potehi Gudo?


Judul: Wayang POTEHI Gudo
         Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis: Dwi Woro Retno Mastuti
Editor: A. Dahana
Tim Penyusun: Dwi Woro Retno Mastuti
                     Dad Murniah
                     Nurweni Saptawuryandari
                     Woro Aryandini
Editor Bahasa Indonesia: Yanwardi
Editor Bahasa Inggris: Christie Foster
Penerjemah Bahasa Inggris: Garce Tiwon Wiradisastra
Tim Fotografer: Yusuf Raharjo
                       Hendra Shake
                       Deska Binarso


Disain Sampul: Agni Tirta    
                        Selo Sumarsono
Disain dan Tata Letak: Selo Sumarsono                                 
ISBN: 978-602-95696-8-1
Halaman: 145
Penerbit: PT Sinar Harapan Persada
Harga: Rp 250.000


Djiao djiao ha san way
sien hwa ti khay
hok lok tjai tju siu
hui hapcong sian lay

dengan diam kami turun dari gunung

bunga nan segar berkembang di bumi
memberikan berkah, keberuntungan dan umur panjang
para dewa datang dan duduk bersama di situ (doa pembuka pegelaran Wayang Putehi)

Wayang merupakan suatu hal yang unik buat saya. Katakanlah hanya memandang wayang kulit saja sudah membuat saya terpesona. Bagaimana tidak, untuk menghasilkan sebuah  tokoh dalam wayang kulit dibutuhkan keahlian, ketelitian dan ketekunan. 

Bagi saya wayang merupakan perpaduan aneka seni. Wayang kulit misalnya. Butuh seni suara dalam bentuk kerawitan untuk membuat tontonan menarik. Pewarnaan wajah beberapa tokoh merupakan perwujudan seni lukis. Memberi warna pada tokoh wayang juga tidak sembarang. Ada pakem khusus untuk wajah pendekar atau ksatria utama yang berbeda dengan wajah prajurit. Lalu bayangan yang kita nikmati membutuhkan keahlian untuk menghasilkan efek agar tontonan terlihat menarik. Sabetan sang dalang meskipun kelihatan mudah tapi butuh latihan dan jam pentas yang panjang untuk bisa melakukannya dengan cara yang unik. 

Dengan keunikannya tersebut maka  pada tanggal 07 November 2003 UNESCO menetapkan wayang sebagai mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). Kita patut berbangga untuk itu.

Jenis wayang beragam, Menurut bahan pembuatannya ada wayang kulit, wayang kayu, wayang orang, wayang rumput, dan wayang motekar.  Beberapa wayang seperti wayang orang sudah sering dikenal orang. Sementara wayang rumput atau disebut wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa. Sementara wayang kayu bisa kita temukan wayang golek, wayang menak, dan masih banyak lagi.

Salah satu jenis wayang  kayu yang tidak begitu dikenal orang adalah Wayang Potehi. Wayang ini terbuat dari kayu pohon Waru Gunung untuk bagian kepala dan kaki.  Masih sedikit buku yang bisa kita temui terkait Wayang Potehi. Salah satu yang paling baru adalah buku ini, Wayang Potehi Gudo.

Dengan mengusung konsep coffee table book, buku ini menguraikan tentang banyak hal mengenai perkembangan Wayang Potehi  yang terangkum dalam Riwayat Peranakan Tionghoa di tanah air,  Wayang Potehi, Kota Gudo dan Wayang Potehi, Seni Pertunjukan Wayang Potehi. Sebagaimana layaknya buku dengan konsep coffee table book, untuk urusan foto jelas sungguh menawan.

Hal lain yang membuat buku ini berbeda adalah penggunaan dwi bahasa. Pada sisi kanan kita akan menemukan teks menggunakan Bahasa Inggris, sementara sisi kiri menggunakan Bahasa Indonesia. Buku ini tidak saja diperuntukan bagi para pencinta wayang di tanah air namun juga bisa menjadi misi kebudayaan ke luar negeri.

Membaca uraian Peranakan Tionghoa di Indonesia membuat saya lebih bisa mengerti kenapa wajah anak saya teramat sangat sering dikira China totok. Sepertinya  terlalu kuat pengaruh gen dari pihak bapaknya.

Ternyata perkawinan antara laki-laki imigran dari China dengan wanita setempat membuat terbentuknya tiga kelompok. Pertama perkawinan orang Tionghoa dengan penduduk setempat sampai tiga generasi lebih hingga beberapa generasi membuat ciri fisik dan kebudayaan sebagai orang Tionghoa menghilang. Sementara ciri fisik dan kebudayaan pribumi justru kian menonjol. Secara sosiokultural kelompok ini dianggap sebagai kaum pribumi

Kelompok kedua adalah keturunan China yang menikah dengan penduduk setempat atau dengan orang barat, lalu selanjutnya lebih banyak menikah dengan orang China lagi menjadikan ciri fisik dan kebudayaan Tionghoa dan pribumi sama-sama muncul. Mereka disebut China peranakan. Kelompok ketiga adalah orang China yang keturunannya menikah dengan sesama orang China tanpa pengaruh bangsa lain. Umumnya mereka yang datang pada abad ke-19 dengan membawa istri. Biasanya mereka disebut China keturunan (halaman 22-23).

Disebutkan juga bahwa masyarakat Tionghoa di tanah air terbagi menjadi dua. Pertama China Totok atau singkeh yang merupakan pendatang dengan berorientasi ke negari leluhur sehingga masih kental budaya dan bahasanya. Jika mereka lahir di Indonesia, orang tua mereka totok. Totok adalah pendatang baru. Sejak arus imigrasi ke Indonesia berhenti, julmlah totok menurun dan keturunan totok tersebut mengalami peranakanisasi Kedua adalah Peranakan yaitu mereka yang lahir dari pernikahan campuran antara ayah Tionghoa dengan ibu Indonesia (halaman 24).

Wayang Potehi merupakan salah satu jenis wayang khas Tionghoa bagian selatan. Di daerah asalnya, Propinsi Hokkian kesenian ini telah  berusia sekitar 3.000 tahun. Istilah Wayang Potehi berasal dari kata bu 布 (kain), dai 袋 (kantong) dan xi 戯 (wayang), boneka kantong.  

Bisa juga diartikan Wayang Potehi adalah wayang boneka  yang terbuat dari kain meski bahan untuk beberapa bagiannya terbuat dari kayu. Dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain.Wayang ini dimainkan menggunakan kelima jari. Tiga jari tengah mengendalikan kepala dan badan, sementara ibu jari dan kelingking mengendalikan tangan sang wayang

Susunan Wayang Potehi terdiri dari kepala, tangan, kaki menggunakan sepatu, badan yang berupa kantong. Ukurannya sekitar 30 cm, lingkar kepala sebesar 5 cm dan memiliki lebar 15 cm jika dibentangkan. Pementasan Wayang Puthei dilakukan di sebuah panggung yang disebut paylow dengan ukuran 130X105X40 cm dan berwarna merah, lambang kebahagiaan

Konon kabarnya seni wayang ini bermula dari lima orang narapidana yang  dikurung dalam penjara menunggu  hukuman mati. Empat orang di dalam sel hanya bisa bersedih , sementara satu orang berpendapat ketimbang bersedih menunggu ajal, lebih baik menghibur diri. Selanjutnya lima orang tersebut membuat semacam pengiring permainan wayang dari perkakas yang ada di sekitar seperti panci dan piring.  Bunyi merdu yang keluar dari tetabuhan darurat ini terdengar juga oleh kaisar. Sang kaisar yang merasa senang dan terhibur oleh persembahan mereka lalu memberi pengampunan buat mereka berlima.

Wayang Potehi sudah menjadi bagian dari kekayaan setempat, misalnya Wayang Pothei dari Gudo, Jombang, Jawa Timur Wayang Potehi masuk dan berkembang di tanah air pada sekitar abad  16  hingga 19. Sayang sekali, di negara asalnya wayang ini justru sudah punah menjadi korban Revolusi Kebudayaan. Di tanah air pada masa Orde Baru wayang ini seakan tertelan bumi. Sekarang Wayang Potehi bisa dinikmati kembali dengan bebas. 

Pementasan wayang ini biasanya dilakukan di kelenteng. Pertunjukan Wayang Potehi merupakan sarana ritual untuk memuja roh para leluhur dan dewa. Ketika pergelaran di kelenteng, sebenarnya mereka bermain untuk para dewa dan roh leluhur. Mereka tidak terlalu memperdulikan jumlah penonton. Mereka akan terus bermain hingga cerita yang dipilih selesai. Ada yang baru selesai setelah 30 hari.  Meski demikian jumlah uang hadiah yang diterima berpengaruh pada lamanya jumlah hari pergelaran. Pertunjukan Wayang Potehi ternyata lebih banyak terjadi di daerah Jawa Timur seperti Sidoarjo, Tulungagung, Kediri dan Surabaya. ketimbang lainnya, khusus untuk Pulau Jawa.

Setiap kali pertunjukan digelar, boneka potehi yang dimainkan berjumlah antara 20 hingga 25 buah. Urutannya adalah, musik tanda pembuka-pembuka oleh dalang-doa kepada dewa untuk mohon keberkahan untuk umat yang melaksanakan nazar/kaul-monolog tokoh pembuka-dialog-adegan perang-penutup. 

Keunikan dari dari Wayang Potehi adalah setiap boneka Potehi tidak mewakili satu karakter saja, melainkan bisa menjadi tokoh lain. Perubahan tersebut bisa dilihat dari busana dan aksesori kepalanya yang dikenakan. Misalnya tokoh Kaisar Lie Sie Bin selalu berbusana kuning. Jika dalam suatu pementasan busanannya bukan menggunakan warna kuning, maka artinya ia merepresentasikan karakter dari tokoh lainnya.

Melihat sang dalang beraksi dengan mempergunakan wayang yang dihiasi aneka warna cerah dan sarat makna baik dalam wujud pakaian, asesoris hingga ikat kepala pasti menyenangkan. Pakaian yang dihiasi aneka sulaman indah membuat saya penasaran. Bagaimana pembuatnya bisa begitu tekun membuat jahitan berukuran kecil lalu menghiasnya dengan cantik.

Untuk memainkan Wayang Pothei dibutuhkan dua orang yaitu dalang dan asisten dalang. Dalang bertugas menyampaikan kisah sementara asisten bertugas membantu menampilkan tokoh-tokoh sesuai cerita. Suara dalang berubah-ubah tergantung tokoh. Uniknya khusus untuk wayang ini dalang dan asistennya tidak memerlukan kostum khusus. 

Kandungan moral serta budi pekerti yang terdapat dalam kisah Wayang Potehi sering tidak bisa sampai pada penonton. Bagi yang baru pertama kali melihatnya tidak akan mengerti kisahnya, apalagi mengenal tokohnya. Saat dalang mengucapkan matra dalam bahasa Hokkian makin bingung penonton.  Tidak bisa dimungkiri bahwa bekal pengetahuan mengenai kisah legenda serta pemahaman bahasa Hokkian walau sedikit menjadi persyaratan menonton Wayang Potehi atau pertunjukan teater boneka China lainnya. Untungnya sejak dikeluarkan PP no 10/1959 maka bahasa pengantar menjadi Bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa sehingga kian banyak yang bisa menikmati.
Kata Gudo sempat membuat saya penasaran. Apakah maksudnya Wayang Gudo atau Wayang khas dari Gudo. Ternyata Gudo adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Jika ingin tahu lebih jauh bisa mengintip http://jombangkab.go.id/index.php/page/detail/kecamatan-gudo.html

Gudo dikenal memiliki sentra industri kerajinan manik-manik bertaraf internasional. Kerajinan ini berasal dari limbah kaca. Industri tersebut terutama berada di Desa Plumbon Gambang, serta desa-desa lain seperti Mejoyo Losari, Pesanggrahan, Legundi, Siwalan, Krembangan, Godong dan Wangkal Kepuh. 

Di sana selain terdapat pabrik gula juga ada sebuah  kelenteng tua yakni Hong San Kiong (鳳山宮) yang diperkirakan berdiri tahun 1710. Kata gudo diperkirakan berasal dari cara orang Jawa megucapkan kata "pagoda" menjadi "paguda" lalu menjadi "gudo" terkait dengan adanya bangunan kelenteng.

Keberadaan pabrik gula, kelenteng, Wayang Potehi dan Kampung Tukangan di Gudo memiliki peranan yang saling mendukung. Pabril gula adalah representasi kapitalis kolonial Hindia Belanda. Klenteng mewakili kegiatan keagamaan yaitu Konghucu dari Tionghoa. Sementara Wayang Potehi adalah wujud ekspresi seni kelompok masyarakat Tionghoa. Sementara Kampung Tukangan menjadi suatu wilayah komunitas masyarakat pendukung keagamaan, kesenian dan pekerja pabrik. Semua unsur saling bersinergi dengan harmoni.
Membaca buku ini saya jadi prihatin akan nasib Wayang Potehi. Dari uraian yang ada, penggiat wayang ini hanya ada tiga orang yaitu Toni Harsono, Wiwik serta Supangat. Selain para dalang, pemusik  serta trio hebat tersebut bagaimana nasib wayang ini selanjutnya? Semoga dengan adanya buku ini akan ada perubahan signifikan akan keberadaan Wayang Potehi.

Penghormatan bagi para dalang serta pemusik Wayang Potehi sudah dilakukan oleh penulis. Daftar nama dalang serta pemusik Wayang Potehi seluruh tanah air bisa ditemukan di halaman 138-139. Sehingga pembaca bisa mengetahui siapa saja pahlawan tanpa tanda jasa yang melestarikan keberadaan serta mengembangan wayang tersebut. Sayangnya tidak tercantum bagaimana cara menghubungi mereka, misalnya no telepon dan sejenisnya.

Tambahan pengetahuan saya tidak hanya seputar Wayang Potehi. Dalam Pendahuluan yang disusun penulis terdapat uraian singakt mengenai kata China, Cina dan Thionghoa. Kata CHINA mengacu pada Negara Republik China. Kata CINA mengacu pada istilah yang lazin digunakan dalam kehidupan masyarakat Jawa.Sementara TIONGHOA untuk penyebutan etnik. Minimal jadi tahu bagaimana bersikap saat membaca sebuah buku yang mempergunakan kata Tionghoa saat menyebutkan negara.

Untuk urusan gambar yang bisa saya sarankan hanyalah penambahan keterangan saja. Itu gambar siapa dan apa perannya dalam wayang. Beberapa masih hanya dipasang gambar saja tanpa keterangan.

Selain itu hal yang agak mengganggu adalah pengulangan uraian. Pada halaman 104 sudah diungkapkan mengenai jumlah orang yang memainkan Wayang Potehi, namun di halaman 106 terdapat uraian yang persis terulang. Demikian juga uraian mengenai Suluk di halaman 108. Penutup dalam buku ini juga terdapat pengulangan dari uarain sebelumnya. Jika maksudnya untuk mempertegas, justru berkesan bertele-lehe.  

Entah hanya perasaan saya saja tapi buku ini seakan ditulis oleh sosok yang berbeda begitu mendekati bagian-bagian akhir. Seakan penulis ingin segera menuntaskan tugasnya. Padahal awal buku ini memberikan kesan yang menawan.  

Dwi Woro Retno Mastuti sang penulis bagi saya merupakan sosok yang bersahaja. Setia dengan sarung batiknya, membuat saya merasakan aura Jawa yang kental setiap kali bertemu. Beliau juga terlihat merupakan sosok yang berusaha berkompromi dan bersyukur pada banyak hal.

Simak saja kalimat yang kita temui dalam Pendahuluan. Misalnya, Selalu ada kesempatan baik (hal 10). Lalu Selalu ada pencerahan (hal 12) dan Selalu ada hikmah di balik sebuah peristiwa(hal 13). Untuk rasa bersyukur bisa dilihat dari kalimat. Selalu ada pertolongan (hal 11)

Djia sian ssing we hu
Teng di geng ho
Pai sia hong Thian

mohon para penonton kami persilahkan pulang, selamat tidur sampai jumpa kembali selamat beristirahat ( kalimat penutup pegelaran Wayang Potehi)










.













































1 komentar:

  1. Dulu waktu masih kecil, saya sering nonton Wayang Potehi di depan kelenteng di dpn rumah nenekku, di daerah Pancoran Kota, Jakarta. Nggak pernah ngerti ceritanya, tapi rata-rata tentang kepahlawanan.

    BalasHapus